Minggu, 31 Juli 2011

PENDAHULUAN


BAB I
PENDAHULUAN

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU), KH Hasyim Muzadi mengajak seluruh warga Nahdliyin untuk menjaga kerukunan dan persaudaraan (ukhuwah) dengan tidak saling berseteru satu sama lain. "Orang-orang NU itu memang harus rukun, karena NU adalah organisasi Islam yang harus menjaga kerukunan umat tidak peduli memakai baju politik apapun, karena politik itu sifatnya cuma sementara," tutur Hasyim Muzadi, mendahului Istighotsah dan Silaturahmi Ulama NU di PKOR Way Halim Bandar Lampung (Warta “Warga NU harus rukun (Art/Cih) NU on line).
Ungkapan diatas sangat sederhana, namun syarat makna, sebab pada kondisi praktis banyak elite dan masyarakat NU (Warga NU)  yang kurang memahami sikap politik NU. Kenyataan ini jelas merupakan masalah besar. Secara definitif kita kenali bahwa masalah adalah ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan. Harapannya warga NU berpegang teguh pada Khithah, kenyataannya Khithah belum menjadi standar berorganisasi secara 100%. Kenyataan ini disebabkan panjangnya perjalanan sejarah NU dimulai dari proses pendiriannya sebagai jam’iyah diniyah, yang kemudian berubah menjadi Partai Politik, ditambah banyaknya peran aktif tokoh-tokoh NU dalam Partai Politik dan  pemerintahan, walaupun sekarang sudah kembali lagi ke Khithoh jelas telah banyak mengubah pandangan masyarakat tentang NU, baik masyarakat yang diluar NU maupun Warga NU itu sendiri.
Dalam internal organisasi NU seringkali terdapat usulan untuk merubah kembali NU sebagai organisasi politik, ataupun timbulnya tarik menarik antar para anggota NU yang duduk dalam partai politik tertentu untuk memanfaatkan suara warga NU untuk kepentingan partai politiknya. Kondisi ini seringkali menimbulkan konflik antar warga NU dan energi mereka tercurahkan pada hal-hal yang kurang produktif sedangkan urusan pengembangan keagamaan yang jadi fokus NU menjadi terbengkalai.
NU sering dipandang sebagai simbol kekuatan moral, karena NU menjadi kekuatan politik non partai yang sangat signifikan, baik semasa orde baru, hingga saat  zaman kekuasaan partai seperti sekarang ini.
Pihak-pihak yang berlainan memiliki perkiraan berbeda-beda mengenai jumlah warga NU, ada yang mengatakan 35 juta orang, sementara Muhammadiyah memiliki warga 28 juta orang. Tetapi badan intelijen sebuah negara jiran mempunyai data berbeda dari perkiraan di atas, menurut mereka jumlah warga NU ada 60 juta orang sedangkan Muhammadiyah 15 juta orang. Sementara badan Intelejen Indonesia sendiri memperkirakan angka 90 juta orang warga NU dan 5 juta orang warga Muhamadiyah (KH.Abdurahman Wahid. NU dan Demokrasi. Selasa 12 Agustus 2003. WWW. Gusdur Ne)1.

Mengingat potensi seperti itu maka dalam situasi apapun, apalagi dalam peristiwa politik besar, seperti Pemilihan Umum, Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati / Wali Kota, NU selalu ditarik ke arah politik, baik sebagai pemain langsung atau sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi massa dan sekaligus pemberi legitimasi moral. Hal ini merupakan kekuatan NU yang riil, hanya saja kekuatan itu seringkali berakibat negatif, karena dengan powernya itu ia selalu dicurigai, kemudian dibatasi geraknya seperti zaman orde baru. Di sisi lain daya tarik kekuatan NU yang besar itu seringkali dimanfaatkan secara pragmatis, untuk melegitimasi kebijakan pemerintah tertentu, bukan sebaliknya, untuk menekan negara agar membebaskan rakyat dari belenggu penguasa. Belum lagi ketika kekuatan politik moral itu ditarik menjadi politik praktis, sehingga membuat banyak pengurus NU yang terserap ke partai politik, atau posisi politik lainnya termasuk duduk di birokrasi, sehingga NU secara organisasi mengalami kevakuman.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi ketika basis pengkaderan NU  semacam pesantren juga ikut terserap ke arena politik, maka resources NU semakin terbatas.  
Hal itu terjadi karena partai-partai politik yang ada belum melakukan kaderisasi dengan baik, sehingga mereka selalu merekrut kader NU yang sudah jadi, hal itu tidak hanya dilakukan partai-partai yang berbasis NU, tetapi juga partai lain seperti Golkar dan PDI. Ini juga berkaitan dengan adanya pengaruh politik yang dimiliki kalangan NU, dengan basis konstituennya yang ada. Ini jalan pintas yang diambil partai politik untuk meraih cita-cita politik mereka.
Padahal bagi NU kekuatan politik moral  itu akan lebih berguna kalau dimanfaatkan sebagai modal untuk mempengaruhi kekuasaan yang ada dalam menentukan kebijakan, untuk menjembatani munculnya konflik interest antara partai yang ada, yang masa-masa menjelang pemilu seperti sekarang ini justru semakin menegangkan. Memang dalam jangka pendek, pilihan politik moral tidak membawa keuntungan yang berarti, tetapi dalam jangka panjang sangat menguntungkan, sebab dengan demikian akan bisa turut menata sistem politik ke depan dan sekaligus bisa mendewasakan politik rakyat, akhirnya rakyat bisa melakukan pilihan sendiri dan bisa mengontrol partai dan penguasa.
Bagi warga NU memang bebas berpolitik dan menentukan pilihannya sendiri, karena politik demokratis mengandalkan adanya stelsel individu dalam berpolitik, tetapi secara kelembagaan, NU terikat oleh khittah, yakni harus menegakkan politik moral (akhlaqul karimah), bukan politik kekuasaan, dengan demikian NU bisa mengayomi keseluruhan masyarakat, baik warga NU maupun bukan, sikap seperti ini dimaksudkan agar tidak terjebak dalam sekat ideologi politik tertentu. Peran-peran mediasi itu sangat diperlukan, sebab selama ini NU telah dikenal sebagai komunitas yang mampu menjembatani berbagai ketegangan bahkan konflik sosial dan politik yang muncul. Peran itu akan hilang kalau NU berubah menjadi kekuatan politik formal, karena akhirnya NU menjadi ormas biasa, yang merebut hal-hal yang bersifat pragmatis dan duniawi, sementara cita-cita NU lebih luas dari sekedar itu.
Para pendiri NU dengan susah payah membangun pondasi bangunan NU, dengan harapan Kaum santri (warga NU) dapat  ikut serta membangun dan mengembangkan insane dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan sejahtra. Kalau NU secara organisatoris terlibat langsung politik praktis, jelas cita-cita tersebut akan sulit dicapai.
Hal lain keterlibatan NU ke dalam politik praktis juga tidak mendidik rakyat dan sekaligus menyalahi aturan, sebab pada politik yang normal, semua kekuasaan politik seyogianya dipegang oleh orang-orang partai. Karena mereka yang sejak awal melakukan kampanye, penggalangan massa, membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan, maka kalau kelompok non partai yang diserahi, maka ini akan menyalahi prosedur yang telah dibangun, sejak mulai dari pemilu dan seterusnya. Kecuali dalam situasi emergensi, kelompok non politik bisa dimunculkan. Pada situasi normal, maka selayaknya posisi politik diserahkan pada kalangan partai sendiri. Ini langkah yang proporsional, sebab kalau tidak, tidak ada prosedur  dan tidak ada aturan, sehingga alur politik menjadi semrawut dan langkah itu akan mengganggu proses konsolidasi demokrasi dan pelembagaan politik demokratis pada umumnya.
Untuk menghindari hal tersebut, perlu dijelaskan sikap politik NU. Pada tataran ini penulis mencoba menjelaskan sikap politik NU, lewat penelusuran sejarah dan penganalisaan fakta yang kemudian dituangkan dalam buku yang berjudul “ NU THE DESIGN  MAKER  POLITIC”.
Buku ini memuat sikap politik NU secara organisatoris,yang didasarkan pada hasil kajian Khittah NU, AD/ART NU, Faham Keagamaannya dan stitmen PBNU. Juga buku ini memberi gambaran sikap politik warga NU paska kembali ke Hkithoh.
Mudah-mudahan penulisan buku ini dapat memberi manfaat bagi warga NU pada khususnya dan bagi masyarakat keseluruhan pada umumnya. Amin.

Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Kabupaten Karawang, Anggota Forum Pengkajian Strategi Pembangunan Karawang dan Ketua Asosiasi Petani Karawang.



PERAN POLITIK NAHDLATUL ULAMA


BAB II
PERAN POLITIK NAHDLATUL ULAMA
DARI ZAMAN KE ZAMAN


A. SEJARAH
     LATAR BELAKANG PENDIRIAN NU

Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia  berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu membantu dan keseia sekataan merupakan persyaratan dari tumbuhnya persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.
Pembentukan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, merupakan akomodasi atas potensi dan peran ulama-ulama pesantren yang secara kultur telah eksis sebelum abad dua puluhan. Namun secara social politik peran ulama-ulama pesantren kurang diperhitungkan, baik oleh Belanda sebagai penjajah, maupun oleh kalangan Islam Modern itu sendiri, kelompok ulama pesantren hanya dianggap mampu bergerak dibidang pendidikan ansich (M. Imdadun Rahmat.Kritik Nalar Fiqh NU Tranformasi Paradigma Batsul Masa’il. (Jakarta: LAKPESDAM. Ed 1 Agustus 2002)), Kenyataan ini yang telah mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Islamiah yang mewadahi ulama-ulama tradisional. Hal lain yang mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama, adalah bentuk keinsapan para ulama tradisional untuk mempersatukan kekuatan sehingga menjadi benteng yang kokoh dalam membela dan mempertahankan ajaran Islam Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah (Drs.H.M.Solihin Identitas NU Faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. CV.Mitra Usaha Mandiri Karawang 2001)
Menurut Fajrul Falakh, sedikitnya ada tiga alasan berdirinya Nahdlatul Ulama; Pertama, aksi cultural untuk bangsa, kedua aktifitas yang mencerminkan dinamika dan kreatifitas kaum muda dan ketiga adalah usaha ekonomi kerakyatan dan keprihatinan keagamaan Internasional (Muhammad Fajrul Falkh “Jamiyyah NU, Lampau, Kini dan Datang” dalam Gus Dur NU dan Masyarakat sipil, ed.KH.Darwis (Yogyakarta:LkiS,1994). Keprihatinan terhadap kondisi keagamaan Internasional terutama ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari keum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah Pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bahwah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya kalangan pesantren yang selama ini membela keberagamaan, menolak pembatasa bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta tahun1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan  kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, pada bulan Januari 1926,  yang diketuai oleh KH Wahab Hasbullah.

Komite Hejaz bertugas mengirimkan delegasi ke Makkah dan menghubungi para ulama terkemuka di seluruh Jawa dan Madura. Tanggal 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang para ulama terkemuka untuk membicarakan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Makkah. Terpilih sebagai delegasi KH. Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz . Ketika utusan telah ditetapkan timbul pertanyaan siapa dan atau intitusi apa yang berhak mengirim KH. Raden Asnawi ? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (Nama Nahdlatul Ulama  atas usul KH. Mas Alwi), pada waktu dan tempat itu juga. (16 Rojab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926), kenyataan inilah  yang telah mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Islamiah yang mewadahi ulama-ulama tradisional.

B. KIPRAH POLITIK NU 
    ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

Organisasi Ulama yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926. diberi nama Nahdlatul Ulama atas usul  KH.Mas Alwi bin Abdul Aziz, sedangkan masalah lambing Nahdlatul Ulama diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah berdasarkan mimpi sehabis melakukan shalat istiharah. Tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf Arab adalah tambahan KH. Ridwan Abdullah sendiri (Bukan hasil istikharah)

Aktipitas pertama Nahdltul Ulama sebagai Organisasi adalah mengutus delegasi untuk menemui Raja Ibnu Sa’ud untuk menyampaikan tuntutan, delegasi yang diberangkatkan adalah Kyai Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghanaim Al-Amiri Al-Mishri. Adapun materi tuntutan yang akan disampaikan kepada Raja Ibnu Sa’ud adalah sebagai berikut:

1.    Meminta kepada Raja Ibnu Sa’ud  untuk tetap memberlakukan  kebebasan bermazhab empat: Maliki. Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
2.    Memohon tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk mesjid, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khaizuran dan lain-lain.
3.    Mohon agar disebar luaskan keseluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal-ihwal haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang syekh.
4.    Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negri Hijaz, ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut.
5.    Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul Nahdlatul Ulama tersebut (Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Bisma satu Surabaya 1999).

Pendirian NU sebagai Jamiyyah dan mengirim delegasi ke Makkah, merupakan kegiatan  politik (Politik adalah Kegiatan ikut serta menentukan arah kebijakan negara.) kaum tradisional yang secara jelas-jelas ingin memperlihatkan jati dirinya, bahwa kaum tradisional mempunyai kemampuan yang sama dengan mereka yang mengaku kaum Islam Modernis.

Delapan bulan paska kelahirannya  Nahdltul Ulama sebagai Organisasi  menyelenggarakan Muktamar pertama. Muktamar pertama berhasil memutuskan 27 masalah penting. Dari 27 masalah tersebut, 21 masalah agama, yang paling menonjol adalah masalah madzhab. Atas dasar itu Muktamar  menegaskan “Mengharuskan bagi umat Islam zaman kini untuk mengikuti salah satu dari madzhab empat dalam rangka menjalankan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, sedangkan 6 masalah lain adalah masalah kesehatan (M.Imdadun Rahmat (ED.), Kritik Nalar Fiqh NU, Transformasi Paradigma Batsul    Masa’il.LAKPESDAM, Jakarta Agustus 2002).

Muktamar Nahdlatul Ulama kedua diadakan pada tanggal 14 –16 Rabiul Tsani 1346 H  bertepatan dengan (9-11 Oktober 1927) bertempat di Hotel Muslimin Jalan Paneleh Surabaya. Muktamar kedua menghasilkan putusan politik; meminta kepada pemerintah Hindia Belanda untuk memasukan kurikulum Agama Islam pada setiap sekolah umum di Jawa dan Madura. Masalah perkawinan dibawah umur. Nahdlatul Ulama meminta kepada pemerintah Hindia Belanda agar orang yang akan dijadikan penghulu atau naib itu, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan para Ulama setempat.

Kegitan politik NU terus berlanjut dan berlanjut terus sepanjang masa.  Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke XV diadakan pada tanggal 15-21 Juni 1940 M  yang bertempat di Surabaya, menghasilkan putusan mengenai sikap NU terhadap calon pemimpin Nasional. Dalam Muktamar ini NU telah yakin bahwa kemerdekaan akan segera tercapai, sehingga perlu mengadakan rapat tertutup guna membicarakan siapa calon yang pantas untuk menjadi Presiden pertama Indonesia. Rapat rahasiah ini hanya diperuntukan 11 orang tokoh NU, Rapat dipimpin oleh KH.Mahfudz Siddiq dengan mengetengahkan dua nama: IR.SOEKARNO  dan DRS.MUHAMMAD HATTA. Rapat berakhir dengan kesepakatan Ir. Soekarno sebagai presiden pertama dengan dukungan sepuluh suara, sedangkan Drs.Muhammad Hatta sebagai wakilnya dengan dukungan satu suara (Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).

C. KIPRAH POLITIK NU 
    ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG  

Pada bulan Maret tentara Dai Nippon menggantikan kedudukan Belanda. Mulanya kedatangan tentara Jepang disambut ramah oleh masyarakat Indonesi, karena disangka akan melepaskan belenggu penderitaan, namun pada kenyataan tentara Jepang lebih bengis dan lebih sadis, banyak orang yang dimasukan ke penjara tanpa alasan yang jelas. Seminggu setelah pendudukan Batavia, Kolonel Horie menyatakan dirinya diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi kepala Kantor Urusan Agama (Shumubu). Kebengisan dan kesewenangan-wenangan tentara Jepang diperlihatkan dengan melarang semua kegiatan politik Bangsa Indonesia dalam bentuk apapun, perlakuan Jepang mendapat reaksi keras dari masyarakat Indonesia. Korban kesewenang-wenangan Jepang pada bulan April 1942 Rais Akbar Nahdlatul Ulama, KH.Hasim Asy’ari dan ketua Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama, KH.Mahfudz Shiddiq ditangkap tentara Jepang dan dipenjarakan tanpa alas an yang tepat. Pada tanggal 1 Agustus 1942 para konsul Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan di Jakarta, membahas pembelaan terhadap kedua pemimpinnya yang disekap Jepang. Pada tanggal 18 Agustus 1942, kedua pimpinan Nahdlatul Ulama dibebaskan tanpa sarat.

Pada tanggal 7 Desember 1942 Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Jepang di Jawa, Seiko Sikikan, mengundang 32 orang Ulama Jawa dan Madura termasuk KH.Hasim Asy’ari, KH.Mahfudz Shiddiq dan KH.Wahid Hasim dalam sebuah resepsi penghormatan Jepang kepada Ulama bertempat di Gubernur Batavia. Ini berarti sebuah bentuk pengakuan Jepang terhadap keberadaan Kiai Nahdlatul Ulama.

Pada bulan September 1943 secara resmi Jepang mengijinkan dan mengakui aktifitas kembali Nahdlatul Ulama dan Muhammadiah. Setelah diijinkan aktifitas Nahdlatul Ulama lebih diefektifkan, pada tahun 1944 KH. Hasim Asy’ari dan Ir.Soekarno menjadi penasihat Jawa Hokokai, ketika Jepang minta Jawa Hokokai mengumpulkan pemuda untuk dilatih menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air), KH.A.Wahid Hasim juga meminta kepada Jepang untuk melatih para santri di pesantren. Tentara santri ini bernama HIZBULLAH dan SABILILLAH. Tentara Hizbullah dipimpin oleh Saifudin Zuhri diri Nahdlatul Ulama, yang bermarkas di Jakarta. Sedangkan para Ulama memasuki BARISAN SABILILLAH yang bermarkas di Malang Jawa Timur, Barisan Sabilillah dipimpin oleh KH.Maskur konsul Nahdlatul Ulama.

Pada tanggal 12 Oktober 1944, KH.Hasim Asy’ari selaku ketua Masyumi menerima kawat teguran Syekh Muhammad El Amin al-Husaini (Pensiunan Mufti besar Baitul Muqaddas) tentang janji kemerdekaan yang telah dijanjikan Jepang yang dipidatokan oleh Perdana Mentri Kunaiki Koiso pada tanggal 7 September 1944. untuk membahas kawat tersebut KH.Hasim Asy’ari mengadakan rapat.

Pada awal tahun 1945 Jepang kalah perang melawan sekutu, semangat anti Jepangpun berkobar, Tentara Hisbullah dan Sabilillah menyerbu dan melucuti tentara Jepang sehingga Jepang menyerah Kalah. Pada tanggal 29 April 1945 dbentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, disingkat BPUPK) yang beranggotakan 62 orang salah satunya KH.A.Wahid Hasim. Pada akhir Mei 1945 menurut kesaksian lisan Kiai Masykur, antara Soekarno dan tiga pemimpin muslim: Kiai Wahid Hasim, Kiai Maskur dan Kiai Kahar Muzakkir melakukan pembicaraan. Tentang Rumusan dasar Negara (Panca Sila), yang kelak  kemudian akan dipidatokan oleh Soekarno (Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999.).
Tanggal 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia di dasarkan pada Pancasila atau lima dasar yitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, peri-kemanusiaan.
3. Permusyawaratan, perwakilan, mufakat
4. Kesejahtraan
5. Ke-Tuhanan (H.Endang Saifuddin Anshari, MA. Piagam Jakarta, CV Rajawali Jakarta 1986)
Dalam penggodogan Pancasila selanjutnya menimbulkan ketegangan-ketegangan, sampai Soekarno memanggil panitia BPUPKI yang berjumlah 62, untuk membentuk suatu panitia kecil yang berjumlah 9 orang dengan tugas membahas kemungkinan kompromi antara kelompok Islam dan Kelompok Nasionalis. Wahid Hasim duduk di kepanitia 9 yang mewakili Nahdlatul Ulama. Pada tanggal 22 Juni 1945 dasar negara mengenai ketuhanan ditambahkan acuan syari’at dalaam kata-kata :dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab(Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).
Tanggal 10 Juli Piagam Jakarta dipertanyakan oleh tokoh Nasionalis sekuler dan Kristen, sehingga terjadi perdebatan mengenai kekawatiran syariat Islam akan menimbulkan masalah bagi agama lain dan adat istiadat. Untuk membahas kebebasan beragama dibentuk lagi panitia yang beranggotakan 19 orang. Dalam pembahasan panitia 19 Wahid Hasim mengusulkan rumusan berikut: “ Agama Negara adalah Islam dengan menjamin bagi pemeluk agama lain untuk dapat beribadah menurut agama masing-masing”. Lebih jauh Wahid Hasim mengusulkan bahwa Presiden dan Wakil Presidennya Harus beragama Islam.Pada tanggal 14 Juli,  pada sidang pleno BPUPK (Panitia 62) Ki Bagus Hadikusumo  dari Muhammadiyah mengusulkan rumusan baru, dengan menghapus kata “Bagi Pemeluknya”, yang berarti syariat Islam harus dijalankan baik oleh orang Muslim, maupun orang non-muslim. Pendapat tersebut ditentang oleh Soekarno. Pada tanggal 15 Juli, perdebatan semakin sengit, sampai-sampai Kahar Muzakkir dan Ki Bagus Hadikusumo dengan nada keras mengusulkan, kalau Piagam Jakarta tidak disetujui, maka lebih baik semua acuan pada agama Islam dihapuskan. Tanggal 16 Juli, Soekarno menyeru kepada kaum Nasionalis untuk bersedia berkorban menerima Piagam Jakarta dan persyaratan Presiden harus orang asli yang beragama Islam (1H.Endang Saifuddin Anshari, MA. Piagam Jakarta. CV. Raja Wali  Jakarta 1986). Akhirnya setelah melakukan negosiasi semusa usul Nahdlatul Ulama yang mengambil jalan tengah antara usul tokoh Muhammadiyah dan tokoh Nasionalis disetujui.

D. KIPRAH POLITIK NU 
     ZAMAN KEMERDEKAAN 

Pada tanggal 17 Agustus Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan Moh. Hatta, dengan demikian Piagam Jakarta menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pada malam tanggal 17 Agustus 1945, Moh.Hatta menerima kunjungan seorang perwira Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan-keberatan penduduk dari Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam, mengenai dimuatnya Piagam Jakarta pada Mukadimah Undang-Undang Dasar. Bila tidak diubah mereka lebih suka berdiri diluar Republik Indonesia. Tanggal 18 Agustus Moh.Hatta, memanggal empat orang Panitia Persiapan Kemerdekaan yang dianggap mewakili Islam: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singosdimedjo. Teuku Mohamad Hasan dan Wahid Hasim. Demi menjaga keutuhan bangsa pada saat genting ini, mereka setuju untuk menghapuskan rujukan pada Agama Islam dalam teks Mukadimah Undang-Undang Dasar. Sebagai gantinya Wahid Hasim mengusulkan Agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, penambahan kata Esa berarti Tauhid yang tidak terdapat pada Agama lain. Dengan demikian Indonesia tidak menjadi negara Islam, namun menjadi Negara yang bertuhan satu (Monoteis),  dengan kata lain negara Tauhid.


E. KIPRAH POLITIK NU   
    ZAMAN REVOLUSI PISIK 

September 1945 pasukan Inggris mendarat di Jawa mewakili sekutunya Belanda, yang berusaha mengembalikan kekuasaannya di Hindia Belanda. Dalam waktu singkat Jakarta, Bandung dan Semarang telah jatuh ketangan tentara sekutu. Menghadapi ancaman ini para Ulama Nahdlatul Ulama berkumpul pada tanggal 22 Oktober 1945 dan menyatakan perang jihad melawan tentara sekutu. (yang kemudian dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad). Para Ulama “ memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia  supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan, Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak belanda dan kaki tangannya”( Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999). Perang berkecamuk disana sini, dengan dikeluarkannya resolusi Jihad, perlawanan terhadap nika terjadi dimana-mana, keikut sertaan Kiai Sakti telah turut mensepot semangat warga Nahdlatul Ulama dalam berjuang. Pada tanggal 3 Januari 1946, Nahdlatul Ulama secara penuh mengambil bagian dalam pemerintahan dengan diberikannya jabatan mentri Agama, yang dijabat oleh  KH.A.Wahid Hasim. Bagi Nahdlatul Ulama jabatan ini merupakan kunci yang membuatnya berada pada posisi yang sangat menguntungkan untuk jangka panjang karena telah memberikan landasan yang sah bagi aktivitas social keagamaannya. Pada tanggal 25 Mei 1947 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke tujuh belas bertempat di Madiun, dalam muktamar dibahas situasi dan kondisi negara menghadapi revolusi pisik dimaksudkan untuk mengambil langkah-langkah strategis menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kegagalan diplomasi dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyebabkan  tanggal 27 Desember 1949 Indonesia diubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), dalam pemerintahan yang baru Nahdlatul Ulama sangat kesulitan mendapatkan posisi, karena disamping jumlah kader NU sedikit, dukungan dari Islam modernis tidak ada, namun demikian KH.A.Wahid Hasim masih diberi posisi sebagai mentri Agama. Pada tanggal 30 April – 3 Mei 1950 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke delapan belas bertempat di Jakarta, dalam berbagai hal yang berhubungan dengan agama, perkembangan politik dan hubungan NU dengan negara.

F. NU MENJADI PARTAI POLITIK

Ketidak harmonisan kaum tradisional dengan kaum modernis, telah memaksa Nahdlatul Ulama untuk menentukan sikap sendiri yaitu mendirikan Partai sendiri, sehingga pada tanggal 28 April – 1 Mei 1952 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke sembilan belas  bertempat di Palembang. Muktamarnya di Palembang tahun 1952, menegaskan Asas dan tujuan Partai Nahdlatul Ulama, dimana dalam pembahasan Asas dan tujuan Partai Nahdlatul Ulama  adalah “menegakkan Syari’at Islam, dengan berhaluan salah satu dari pada empat mazdhab: Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali” (Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Bisma satu Surabaya 1999) serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat. Dengan penegasan Asas dan tujuan Partai, memperjelas arah dan tujuan perjuangan Nahdlatul Ulama dalam berbangsa dan bernegara. Pada bulan Juli 1953, Nahdlatul Ulama masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo, disini Nahdlatul Ulama memainkan perannya, bukan saja Mentri Agama yang dipegang orang Nahdlatul Ulama, juga Mentri Pertanian, dan bahkan Wakil Perdana Mentri, dengan demikian peran dan fungsi Nahdlatul Ulama dalam membangun bangsa ini bukan sekedar pada segmen agama saja melainkan pada berbagai hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, terutama yang berkait erat dengan kekuasaan Negara. Pada tahun 1954, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Konferensi Alim Ulama yang diselenggarakan di Cipanas Jawa Barat dengan keputusan mengangkat Soekarno dan pemerintahannya sebagai “Walyyul Amri ad-daruri bisy-syaukah”, gelar ini menjadikan Soekarno menjadi kepala negara yang sah. Penganugrahan gelar kepada Soekarno, disamping sebagai sebuah bentuk legalisasi terhadap khalifah (penguasa), hal lain juga merupakan pengakuan bahwa keberadaan Soekarno sebagai pemimpin negara (Presiden), hanya sebatas dalam keadaan darurat. 
Pada tanggal 9-14 September 1954  Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke dua puluh diadakan di Surabaya. Dalam masalah politik dibahas mengenai strategi Nahdlatul Ulama sebagai sebuah partai politik dalam memainkan perannya.

Pada Pemilu tahun 1955, Nahdlatul Ulama mendapat sukses yang luar biasa, dari 8 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat sementara meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4% suara, suara terbanyak yang diperoleh Nahdlatul Ulama dari Jawa. Kemenangan Nahdlatul Ulama diparlemen menambah kiprah NU dalam membuat kebijakan negara, Peran Politik NU semakin menonjol meninggalkan ORMAS Islam modern yang dulu mengucilkan NU. Sebagai bentuk kegiatan rotin organisasi yang harus dilaksanakan dalam keadaa apapun, pada bulan Desember 1956 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke XXI diadakan di Medan. Dalam muktamar ke XXI tidak dilakukan batsul Masail diniah, hal ini disebabkan terkonsentrasinya para tokoh Nahdlatul Ulama pada politik kenegaraan. Hal ini dapat dimaklumi, disamping status NU sudah bergeser dari Ormas Islam yang bersifat Tradisional menjadi partai politik modern yang memperoleh jumlah kursi yang signipikan, juga keadaan negara, memaksa NU harus konsen pada masalah politik, karena suhu politik negara pada waktu itu tidak setabil. Hal ini dapat dilihat pada tanggal 14 Maret 1957 terjadi perubahan besar, kabinet Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri setelah mengumumkan SOB (Keadaan Bahaya). Dalam keadaan cukup genting NU masih stabil memainkan peran politiknya, dengan melakukan bargaining dengan Nasionalis. Pada bulan April 1957 lewat Presiden Soekarno berhasil membentuk kabinet baru dibawah Ir.Djuanda Kartawidjaja. Kabinet ini merupakan kwalisi PNI dan NU.

Pada Tahun 1957 Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi terpimpin. PKI menyatakan setuju dengan konsep Soekarno ini seperti PNI dan Murba. Masyumi dan Partai Katolik menolak dengan keras, sedangkan Nahdlatul Ulama, PSI dan Partai lainya menolak secara kurang tegas. Dalam sidang Pleno tanggal 9-10 Maret, NU menyetujui gagasan Presiden Soekarno dengan syarat: “Dewan Nasional hanya berfungsi sebagai penasehat dan tidak mempunyai konsekwensi politis dan pembentukannya dilakukan oleh Kabinet bersama Kepala Negara.

G. PERAN NU DALAM MENUMPAS  PK I

Pada tanggal 30 September 1965 PKI melakukan pemberontakan yang dikenal Gerakan 30 September. Tanggal 30 September 1965, Nahdlatul Ulama melakukan rapat darurat yang memutuskan bahwa para pemimpin NU yang sudah lanjut usia harus segera meninggalkan rumah mereka untuk bersembunyi tanpa keluar kota. Mandat kepemimpinan diserahkan kepada Zainuri Echsan Subchan yang masih berumur 34 tahun, yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua IV PBNU. Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam jendral Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Jendral Suharto yang saat itu masih panglima kosrad dalam pidatonya menyatakan akan membasmi komunis hingga ke akar-akarnya.
Tanggal 3 Oktober 1965, Pimpinan Ansor secara resmi minta pada anggotanya untuk dengan jalan bagai manapun membantu pihak ABRI untuk memulihkan keamanan dan menjaga keutuhan bangsa serta menyelamatkan revolusi dibawah pimpinan Presiden / Panglima Tertinggi ABRI / Pemimpin Besar Revolusi / Pahlawan Islam dan Kemerdekaan, Bung Karno. Untuk itu, dalam rangka menumpas G 30 S dan antek-anteknya, para anggotanya diharapkan menunggu dan hanya melaksanakan intruksi dari pimpinan koordinasi Djama’ah NU yang telah dibentuk di pusat dan yang akan dibentuk di daerah. 

Tanggal 4 Oktober 1965, KAP-Gestapu (KAP-Gestapu didirikan oleh Zainuri Echsan Subchan dengan Herry Chan Silalahi dari partai Katolik) mengadakan demontrasi pertama yang menuntut pelarangan partai-partai yang telah merencanakan atau mendukung “Gerakan 30 September” yaitu PKI dan ormas-ormasnya yang mendalangi dan bersimpati terhadap G 30 S. Tanggal 4 Oktober 1965, malam harinya televisi dan radio menyiarkan pernyataan yang menuntut dibubarkannya PKI, gerak serta media-medinya, dan menyerukan kepada semua kaum muslimin agar mendukung ABRI untuk memulihkan ketentraman umum.

Pada tanggal 6 Oktober 1965, PKI secara resmi menyerahkan penyelesaian masalah kudeta kepada Presiden Soekarno dan memutuskan untuk menghindari perlawanan Fisik.
Tanggal 7 Oktober 1965, Koran harian Nahdlatul Ulama Duta Masyarakat, ditajuk rencananya menyatakan: Bahwa keputusan yang paling tepat dan paling baik adalah memberantas komunis, akar-akarnya, komplotannya, pembelanya dan semua yang bertindak bersamanya, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Sejak tanggal 8 Oktober 1965, pemuda muslim membakar markas besar PKI di Jakarta, mengobrak abrik dan menjarah rumah tokoh komunis. Penangkapan tokoh komunis dilakukan oleh Angkatan Bersenjata.

Pada tanggal 14 Oktober 1965, Soekarno dipaksa mengalah pada Angkatan Bersenjata dan mengangkat Soeharto sebagai Mentri / Panglima AD menggantikan Jendral Ahmad Yani. Tanggal 17 Oktober1965, komando Angkatan Darat dikirim ke Jawa Tengah untuk menormalkan situasi. NU membantai komunis di Jawa Timur diwilayah kekuatannya, sejak saat itu pemuda Ansor menghabisi komunis. Di Jombang kota kelahiran NU, aksi-aksi anti komunis dimulai lebih awal, tanpa menunggi Angkatan Bersenjata, dan meluas hingga daerah-daerah sekitarnya.  Dilain tempat Kiai Machrus Ali melarang para pemuda membunuh orang komunis yang untuk melindungi dirinya mengucapkan kalimat syahadat dan dengan demikin secara langsung memeluk Agama Islam (Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).

Bulan Desember 1965, setelah turunnya perintah Panglima Daerah Militer, partai dan ormas Islam menempatkan diri di belakang tentara dalam kampanye anti komunis.
Pada bulan Desember 1965, sebuah tim angket resmi menyimpulkan jumlah korban yang jatuh adalah 78.500 jiwa di seluruh Indonesia, suatu angka yang dikecilkan oleh tim agar tidak menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Meskipun demikian Soekarno tetap menyalahkan Ansor atas “Kanibalismenya”. Untuk mengobati kekecewaan Soekarno terhadap Ansor yang dipandang sebagai kanibal, pada tanggal 30 Januari 1966, pada hari ulang tahun Nahdlatul Ulama ke 40 yang dirayakan besar-besaran, Idham Chalid menyatakan “Nahdlatul Ulama akan hidup dan mati bersama-sama Bung Karno untuk Allah.

Berbeda dengan sikap Soekarno yang mempersalahkan Ansor, Panglima Daerah Militer Jawa Timur, Mayjen Basuki Rachmat pada bulan Februari 1966, mengucapkan selamat atas kerja sama yang baik dengan Nahdlatul Ulama beserta pemudanya dalam membasmi PKI.

Dalam upaya menjaga hubungan baik dengan Soekarno pada bulan Juni 1966, Kiai Wahab Hasbullah menyatakan lagi dukungannya terhadap Soekarno, dengan menegaskan Nahdlatul Ulama akan mengajukannya sebagai calon di semua Pemilihan Umum mendatang. Situasi politik paska G 30 S PKI terus memanas, masyarakat yang dipelopori mahasiswa mendesak Soekarno untuk meletakan jabatan, puncaknya pada  tanggal 11 Maret 1966, terjadi pelimpahan kekuasaan dari Soekarno ke Suharto, lewat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Soekarno memerintahkan Jendral Suharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan demi menjaga keamanan, ketertiban dan stabilitas pemerintahan dan jalannya Revolusi, dengan tetap menjaga keamanan pribadi dan kekuasaan Presiden.

H. KIPRAH POLITIK NU 
    ZAMAN ORDE BARU

Selang beberapa lama setelah penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Suharto (11 Maret 1966), Mejlis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mengalami perombakan, sebagian diserahkan pada NU, sehingga terjalinlah satu kerjasama antara ABRI dan gerakan tradisional, persekutuan yang diibaratkan oleh Achmad Sjaichu, wakil ketua II Nahdlatul Ulama, sebagai hubungan antara saudara sekandung. Peran penting yang dimainkan Nahdlatul Ulama dalam mendudukan Suharto segai Presiden sangat ditentuka oleh dua tokoh yang memaikan peran yang menentukan, yaitu KH. Achmad Sjaichu sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-GR), dan Subchan ZE (Nama lengkapnya Zainuri Echsan Subchan)  di Mejlis Permusyawaratan Sementara (MPRS). Pembersihan dalam tubuh DPR-GR telah dimulai sejak tahun 1966. Tanggal 8 April, reorganisasi pertama telah memaksa 62 anggota PKI meninggalkan DPR-GR. Kemudian pada tanggal 17 Mei 1966, lima belas hari setelah pengangkatan Achmad Sjaichu sebagai ketua DPR-GR, sekitar 136 komunis anggota DPR-GR yang terbunuh atau ditahan digantikan. Tanggal 20 Juni sampai dengan tangal 6 Juli 1966 MPRS menyelenggarakan sidang yang kemudian mengakibatkan jatuhnya Soekarno, Sidang Mejlis mengesahkan kekuasaan luar biasa Surat Perintah 11 Maret.

Tanggal 25 Juli 1966, kabinet Ampera terbentuk, Nahdlatul Ulama menempati posisi Mentri Agama dan Mentri Kesejahtraan Rakyat. Tanggal 10 Januari 1967, melalui sebuah pidato Soekarno menyangkal bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa 1965. Namun penjelasan itu ditolak oleh para mahasiswa maupun kalangan radikal NU. Yusuf Hasim wakil ketua I Ansor, menuntut agar peran Soekarno dalam kudeta diperiksa dan keadilan diterapkan kepadanya seperti kepada rakyat lainnya. Achmad Sjaichu mendukung tuntutan tersebut.

Pada tanggal 27 Januari 1967, melalui Dekrit Presiden, anggota DPR-GR yang berjumlah 242 anggota ditambah 108 anggota, sehingga berjumlah 350 orang. Awal Februari 1967, Nurdin Lubis, juru bicara kelompok NU di DPR-GR, mengusulkan kepada kelompoknya sebuah momerandum yang berisi 10 halaman. Isi momerandum itu menolak laporan Soekarno mengenai perannya dalam Gerakan 30 September 1965. Dalam rencana resolusinya, Lubis meminta agar dilangsungkan suatu sidang istimewa MPRS untuk mencopot Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden, pengadilan menyelidiki peran Soekarno dalam peristiwa G 30 S, dan dipilihnya seorang presiden baru secara ad interim.

Tahun 1967, calon yang ditampilkan untuk kursi Presiden adalah Jendral Nasution. Ketika Nurdin Lubis mengajukan resolusi agar Soekarno dicopot dari jabatannya sebagai Presiden, NU masih belum mempunyai calon Presiden baru, sementara ABRI mencalonkan Suharto. Mengingat kegigihan Suharto dalam memberantas PKI dan Suharto orang Jawa, meskipun orang mengatakan ia tidak taat menjalankan ibadah dan dekat dengan aliran kejawen, namun ia juga pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah, atas dasar itu Nahdlatul Ulama tidak keberata. Tanggal 23 Februari resolusi kedua yang dikeluarkan oleh Djamaluddin Malik anggota DPR-GR dari Nahdlatul Ulama, disahkan. Resolusi ini meminta agar MPRS mengangkat Jendral Suharto menjadi Presiden republik Indonesia. Tanggal 8 hingga 11 Maret 67 MPRS bersidang, hasilnya mencopot semua kekuasaan Soekarno dalam pemerintahan serta melarangnya melakukan kegiatan politik hingga pemilihan umum mendatang. Suharto dianngkat menjadi Presiden ad-interim. Dizaman pemerintahan baru yang kelak akan dikenal dengan sebutan Orde Baru.

I. AWAL KERETAKAN DENGAN ORDE BARU   

Andil Nahdlatul Ulama dalam mengangkat karier politik Suharto terlihat melalui Resuffel DPR-GR dan dua resolusi yang mengabsahkan peralihan kekuasaan ke tangan Suharto.Yang perlu diketahui  sampai tahun 1971, system politik masih menggunakan warisan Orde Lama. Atas dasar itu Subhan ZE melancarkan kritik-kritiknya yang makin tajam. Hal lain yang menyebabkan terjadinya banyak pertikaian terutama soal pelaksanaan Pemilihan Umum yang sejak tahun 1955 belum pernah diadakan lagi. ABRI karena belum memiliki partai Politik berusaha mengulur waktu untuk penyelenggaraan pemilu. Tahun 1967 Ansor meminta agar Pemilihan Umum diselenggarakan paling lambat tahun 1967, namun  MPRS memutuskan Pemilu diselenggarakan paling lambat tanggal 5 Juli 1968.

Pengaktifan kembali Penetapan Presiden (Penpres 2/195) yang melarang para pejabat tingga menjadi anggota Partai Polliti menimbulkan  reaksi yang keras. Sebagai pemegang Departemen Agama NU terkena aturan itu (Dizaman Orde Lama, NU terkena aturan itu dan terulan kedua kalinya di zaman Orde Baru.). Diantara para politisi Nahdlatul Ulama banyak yang menjadi pegawai negri, reaksi Subchan dan Mohammad Dachlan menuntut pembatalan PenPres tersebut. Ancaman yang lebih menyerukan mulai terasa ketika rancangan undang-undang politik diajukan pada akhir November 1966. Rancangan undang-undang mengenai Partai Politik ini menuntut mereka juga organisasi-organisasi social lain, untuk mencantumkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai asas. Ide ini muncul dalam seminar Angkatan Darat di Bandung tahun 1966. Menurut rancangan undang-undangtersebut, partai-partai menjadi tiga kelompok, yaitu Nasional, Agama dan Sosial-Pancasila. Pemerintah mempunyai hak untuk membubarkan partai, Pencalonan Presiden secara independen tidak diperbilehkan, partai baru tidak diizinkan dibentuk. Golongan liberal Nahdlatul Ulama memprotes usaha untuk memberikan 50% kursi di DPRD, DPR dan MPR kepada Golkar dan Angkatan Bersenjata, suatu gagasan yang menyerupai Dewan Nasional tahun 1958. Kritik-kritik mulai dilontarkka kepada Pemmerintahan Orde Baru, terutama dibidang kebijakan ekonomi yang mematikan pengusaha kecil. Dalam waktu dua tahun sesudah ABRI berhasil menggantikan rezim Orde Lama, telah muncul banyak sumber ketidak cocokan. NU secara bertahap menjadi kelompok Oposisi. Perbedaan prinsip kalangan Nahdlatul Ulama dengan ABRI dari hal-hal tersebut diatas telah menjadikan kedua kelompok kekuatan tersebut berhadap-hadapan.

Pemilu tahun 1971 telah memberi cukup waktu pada ABRI (Golkar) untuk berbenah diri. Peraturan politik yang melarang pegawai negri  untuk bergabung dengan suatu Partai disatu pihak, sementara dipihak lain pegawai negri harus monoloyalitas, artinya pengawai negri harus memilih Golkar telah merugikan kalangan NU. Disamping hal tersebut diatas Golkar telah banyak melakukan kecurangan melalui intimidasi, tidak sedikit warga Nahdlatul Ulama yang ketakutan karena diintimidasi (Banyak orang NU yang ditodong senjata oleh Danramil agar memilih Golkar.). Hasil kecuranganya Golkar mengasilkan 231 kursi di DPR (68,8%) melawan Nahdlatul Ulama dengan 58 Kursi (18,7%), PNI dan Parmusi, mendapatkan masing-masing 6,9% dan 5,4%. Kemenangan Golkar berkat kegigihan dan kerja keras Babinsa yang menakut-nakuti masyarakat desa. Akibat persaingan dengan Golkar yang semakin terbuka, NU kehilangan Departemen Agama. Selanjutnya yang diangkat menjadi Mentri Agama adalah Mukti Ali (Sebagai sorang dosen otomatis Mukti Ali anggota Kopri dengan kata lain dia seorang Golkar.) seorang muslim modernis.

J. NU PUSI MEMBUAT
   PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN

Setelah kehilangan Departeme Agama, Nahdlatul Ulama dikejutkan kembali dengan penggabungan partai-partai politik menjadi dua partai, NU, Parmusi, PSII dan Perti digabung menjadi PPP, sedangkan PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba menjadi PDI ditambah satu Golongan yaitu Golkar.

Sebagai bentuk kelanjutan dari pusi pada tanggal 5 Januari 1973, PPP dibentuk dengan tujuan mempertahankan dan membangun negara Republik Indonesia atas landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Ketua umum DPP PPP diberikan kepada H.M.S. Mintareja dari Parmusi, sedangkan  Nahdlatul Ulama, menduduki Sekretaris Jendral yang dijabat oleh Jahja Ubaid. Tiga badan lain dalam  DPP PPP diserahkan pada NU, yaitu, Presiden, Ketua Mejlis Pertimbangan Partai dan Mejlis Syura. Akan tetapi dalam operasional Partai, ketua umum yang sangat menentukan, sebab di DPP ketua umum memegang peran-peran yang sangat penting.
Semula dipusikannya Partai Nahdlatul Ulama ke PPP tidak ada masalah, tahun 1975 terjadi consensus, dalam consensus disebutkan bahwa distribusi kekuasaan antar unsure partai yang fusi kedalam PPP diatur seperti perimbangan hasil Pemilu 1971, namun pada kenyataan, ketika pemilu 1977, berlangsung PPP berhasil menambah perolehan suara 5 kursi, konsensun 1975 dihianati, sehingga Nahdlatul Ulama kehilangan 2 kursi.

Terbentuknya satu partai Islam ternyata merupakan perangkap bagi Nahdlatul Ulama, setiap mendekati Pemilu konplik internal dikalangan partai semakin menguat, hal ini merupakan iklim yang sengaja diciptakan untuk mengembosi Nahdlatul Ulama. Tidak cukup sampai disana dalam upaya melemahkan kekuatan Nahdlatul Ulama, pada tahun 1975, rezim Orde Baru membentuk Mejlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai tandingan Nahdlatul Ulama.

Peningkatan 2% di kalangan Islam pada pemilu 1977, membuat Golkar kawatir, untuk mengantisipasi semakin solidnya umat Islam, pada bulan Juli 1978, Golkar mendirikan Mejlis Da’wah Islamiyah Golkar yang bekerjasama dengan GUPPI.

Tahun 1978 pucuk pimpinan PPP yang semula dipegang H.M.S. Mintareja, diambil alih oleh Islam Modernis dengan tampilnya John Naro, dengan tampilnya John Naro kalangan tradisional  semakin terpinggirka. NU menelan kekecewaan yang kesekian kalinya. Pengangkatan John Naro tidak terlepas dari sekenario Ali Murtopo. Bagi Ali Murtopo, Naro merupakan satu-satunya orang yang dapat mengalahkan primodialisme. Kelicikan Golkar dalam memainkan politik, bukan hanya sekedar mengerogoti dari luar, akan tetapi sudah merusak kedalam dengan dimasukannya John Naro ke PPP dimana didalammnya ada NU, menyikapi hal itu pada tahun 1979, Muktamar NU ke XXVI digelar, yang diselenggarakan di Semarang. Akibat terakumulasinya kekecewaan kalangan Nahdlatul Ulama, dan semakin renggangnya hubungan Idham Cholid sebagai ketua Nahdlatul Ulama dengan beberapa ulama berpengaruh, membuat Rais “Aam K.H. Bisri Syamsuri sempat menentang pengangkatan K.H. Idham Cholid sebagai ketua umum tanfizdiyah Nahdlatul Ulama, yang kemudian sikap ini diikuti oleh ulama sepuh K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo (A.Efendi Choeri. PKB Politik Jalan Tengan NU, Eksperimentasi Pemikiran Islam Inklusif Pasca kembali ke khittah 1926, Pustaka Ciganjur Januari 2002.). Memasuki Pemilu 1982, PPP mengasumsikan perolehan suara sama dengan pemilu 1977, namun seperti yang telah saya urai terdahulu mengenai konsensus 1975, sebagai sebuah kesepakatan fusi, bahwa distribusi kekuasaan antar unsure partai yang fusi kedalam PPP diatur seperti perimbangan hasil Pemilu 1971,  kini mulai diusik oleh MI, MI menuntut perubahan perimbangan suara dengan mengurangi jatah Nahdlatul Ulama, perimbangan yang diusulkan MI sebagai berikut: Nahdlatul Ulama 49, MI, 30, SI, 15, dan Perti 5. Perimbangan seperti ini jelas sangat merugikan Nahdlatul Ulama.

Tanggal 27 Oktober 1981, Naro menyerahkan daftar caleg PPP  kepada pemerintah, 29 caleg  Nahdlatul Ulama ditempatkan pada urutan terbawah sehingga kemungkinan untuk terpilih tidak ada. Konplik Nahdlatul Ulama dan MI dalam PPP semakin melebar, sampai akhirnya 29 orang tokoh Nahdlatul Ulama harus tergusur dari nominasi calon terpilih mewakili PPP. Nahdlatul Ulama sangat kecewa, namun gagasan pengundurandiri Nahdlatul Ulama dari PPP menjelang pemilu tampak sukar dilaksanakan karena akan mengganggu stabilitas system politik.

Hasil Pemilu tahun 1982, Nahdlatul Ulama kehilangan 5 kursi, di banding hasil pemilu tahun 1977, hal ini disebabkan PPP yang telah disetir Golkar, juga kecurangan-kecurangan lain yang telah dilakukan Golkar di desa –desa (Kampanye Pemilu tahunn 1982 memakan korban 50 orang meninggal dunia).  Tekanan Golkar dari luar yang semakin kuat ditambah tekanan dari dalam dimana PPP sudah terkontaminasi dan tidak pernah konsisten dengan janjinya terutama dalam hal pembagian jatah kursi, membuat NU semakin pesimis dengan politik, pada tanggal 5-11 Juni 1979, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke XXVI bertempat di Semarang. Di tengah polemik pengunduran Nahdlatul Ulama dari Politik, para ulama memutuskan untuk memecat Idham Chalid, kemudian para ulama pergi ke Jakarta untuk bertemu Idham Chalid dan menyuruh mundur. Tanggal 6 Mei 1982, tepatnya setelah pemilu 1982, dilangsungkan, Idam Chalid menandatangani surat pengunduran diri.

K. NU KEMBALI KE KHITHOH

Pada bulan Agustus 1983, Presiden Suharto kembali kerencana semula, semua organisasi keagamaan diminta menerima Pancasila sebagai satu- satunya asas. Undang-undang keormasan menjadikannya sebagai syarat bagi organisasi-organisasi tersebut untuk tetap boleh melanjutkan kegiatannya. Nahdlatul Ulama menentang keras rencana tersebut karena dengan Pancasila menjadi asas tunggal, mungkin saja lama kelamaan akan menggantikan agama Islam. Tahun 1983, Presiden Suharto menyerahkan Departemen Agama kepada Munawir sjadzali, seorang muslim modernis yang dekat dengan kalangan Islam Progresif, dan dia juga dekat dengan Nahdlatul Ulama, karena dimasa mudanya pernah tinggal dirumah Wahid Hasim untuk beberapa lama, hubungan Nahdlatul Ulama pemerintah mulai didekatkan, terjadilah kompromi pancasila. Pada bulan September 1983 Kiai As’ad menghadap Presiden untuk meminta izin mengadakan musyawarah Nasional Para Ulama. Kepada Presiden Kiai As’ad kembali mengajukan pertanyaan, yaitu apakah sila pertama Pancasila benar-benar berarti mengakui tauhid. Presiden Suharto secara singkat membenarkannya seraya menganggukan kepala(Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).

Bulan Desember 1983, Munas Alim Ulama diselenggarakan di Situbondo, kesepakan mengenai asas tunggal belum tercapai, Kiai Ahmad Siddiq menyampaikan pidato tertulisnya yang mengatakan bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah tetapi tidak bertentangan; Pancasila adalah idiologi sedangkan Islam adalah Agama. Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain (K.H. Achmad siddiq, Pidato Pemullihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926, 10 Desember 1983).  Belum pinalnya pengakuan Nahdlatul Ulama terhadap asas tunggal Pancasila, telah mendorong kalangan Nahdaltul Ulama untuk segera menyelenggarakan Muktamar yang ke XXVII, dalam upaya menegaskan keputusan-keputusan Musyawarah Nasiona. Muktamar Nahdlatul Ulama yang ke XXVII diselenggarakan pada tanggal 8-12 Desember Tahun 1984 yang bertempat di Situbondo. Sebagai bentuk implementasi hasil muktamar, pada muktamar ke 27 Pancasila dicantukan sebagai asas, namun Islam tetap diletakkan di tempat utama di dalam Pasal 3 sebagai Aqidah.



BAB II
AQIDAH / ASAS
Pasal 3

Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah diniyyah Islamiyyah beraqidah / berasas Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu mazdhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara NAHDLATUL ULAMA berpedoman kepada  Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yng adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Agama juga dicantumkan dalam Pasal 5 yang berjudul tujuan.

 BAB IV
TUJUAN DAN USAHA
Pasal 5
Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jam’ah dan menganut salah satu dari mazdhab empat, ditengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keputusan yang paling penting hasil muktamar ke 27 di Situbindo adalah: NU kembali ke Khittah 1926 dengan meninggalkan politik praktis, menegaskan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, dan terpilihnya K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU.

Hasil negosiasi antara Nahdlatul Ulama dengan Pemerintah mengenai Pacasila sebagai asas tunggal, telah membuat wajah baru dengan dimasukannya Pancasila kedalam tek Anggaran Dasar baru Nahdlatul Ulama. Ini merupakan pekerjaan sukar dan rawan karena harus memuaskan perasaan Pemerintah dan sekaligus para ulama yang tidak mungkin melepaskan identitas keagamaannya. Penyeragaman idiologi telah menghilangkan makna partisipasi dalam DPR, dan oleh karenanya Nahdlatul Ulama memutuskan keluar dari politik praktis kembali ke Khittah 1926. mulai saat itu secara resmi Nahdlatul Ulama keluar dari PPP.

Dengan kembalinya Nahdlatul Ulama ke khittah 1926, dan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, ditambah keluarnya Nahdlatul Ulama dari arena politik praktis, telah mengubah pandagan rezim Orde Baru terhadap Nahdlatul Ulama, ketegangan mulai mencair, harmonisasi mulai dijalin,  pamor Nahdlatul Ulama mulai menanjak, reaksi yang ditujukan terhadap NU oleh berbagai kalangan di luar komunitas itu tampak beragam: mulai dari yang merasa terkejut hingga yang merasa perlu untuk melontarkan kutukan.

Penerimaan NU terhadap Pancasila dan Negara kesatuan Republik Indonesia sudah pinal. Sikap NU tidak berbicara bentuk negara harus seperti apa ?, dasar negaranya apa ?, NU lebih terpokus bagaimana mengisi kemerdekaan ini sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Pada sidang tahunan MPR,2001 dimana Fraksi-fraksi ribut mempertanyakan kembali “Piagam Jakarta” dan keberadaan Pancasila sikap NU tetap istiqomah bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah tetapi tidak bertentangan; Pancasila adalah idiologi sedangkan Islam adalah Agama. Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain (K.H. Achmad siddiq, Pidato Pemullihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926, 10 Desember 1983). Negara Indonesia adalah bentuk pinal perjuangan bangsa ini.

L. SIKAP POLITIK NU
     PASKA KHITTAH

Paska Khithoh 1926, peran aktif NU dalam bidang politik berbeda dengan sebelumnya, hal ini nampak tergambar dari Muqodimah Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama. “ Nahdlatil Ulama sebagai jam’iyyah  secara organisasi tidak terikat dengan organisasi politik  dan organisasi kemasyarakatan manapun juga, setiap warga Nahdlatil Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggung jawab sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokrasi, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama”. Nahdlatul Ulama memandang politik sebagai pemahaman terhadap ketata negaraan, sehingga politik dipahami sebagai partisipasi aktif membangun system ketata negaraan yang sesuai dengan cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia. NU tidak lagi berpolitik praktis, warga NU tersebar di PPP, Golkar dan PDI.

Menjelang pemilu 1987, Nahdlatul Ulama mulai jadi rebutan. Golkar dengan kepiawaiaannya mulai melakukan pendekatan, beberapa aktivis mulai terpikat oleh pendekatan yang dilakukan Golkar, Abdurrahman Wahid bersikap lain, Ia menunjukan rasa simpatinya terhadap Partai Demokrasi Indonesia, dilain pihak Ia juga bergandengan dengan Siti Hardianti Rukmana (Emba Tutut).
Menjelang pemilu 1992 artikulasi pilihan politik warga Nahdlatul Ulama kembali menjadi rebutan, pamor  Nahdlatul Ulama semakin menanjak. Presiden Suharto gencar mencari dukungan dari ormas Islam terbesar ini. Gejala ini dimulai tahun 1988 ketika terjadi perpecahan yang cukup gawat dalam tubuh rezim Suharto.

Pada tahun-tahun itu sebagian ABRI menentang kebijakan Presiden Suharto dengan secara terang-terangan menampakan kekecewaan terhadap peningkatan otokratisme Presiden itu. Sumber utama ketidak puasan ABRI adalah berkurangnya kekuasaan ABRI. Presiden telah mencabut antara lain, hak ABRI dalam menentukan pembelian perlengkapan Angkatan Bersenjata. Selain itu, Suharto juga memilih Sudharmono untuk diangkat sebagai Wakil Presiden, hal ini benar-benar berlawanan dengan pimpinan teras ABRI, yang menghendaki John Naro menjadi Wakil Presiden (Keinginan ABRI menjadikan John Noro sebagai Wakil Presiden, terkait dengan  sekenario awal dalam penempatan John Naro sebagai Pimpinan  PPP). Kondisi diatas memaksa Presiden Suharto melakukan aliansi dengan Ormas Islam.
Pada pemilu 1992 banyak suara partai Islam yang beralih ke partai Golkar sebagai partai pemerintah, suatu kecenderungan yang sudah dimulai tahun 1987. Perolehan suara hasil pemilu 1992, Golkar 68.1%, PPP 17% dan PDI meningkat menjadi 14,9% (Peningkatan perolehan suara PDI karena mendapat sokongan dari ABRI yang kecewa pada Presiden Suharto.).. Dalam konpigurasi politik baru ini, NU kembali memainkan peran penentu yang memang sering dimainkan semenjak zaman kemerdekaan.

Pada tahun 1997, aspirasi politik wagra Nahdlatul Ulama diperebutkan kembali, banyak penomena yang muncul dalam menjelang pemilu 1997, mulai dari upaya merebut kepemimpinan di PPP, sampai eksodus ke Golkar dan PDI. Disatu sisi para politisi Nahdlatul Ulama di PPP merancang kekuatan yang dikenal dengan kelompok Rembang, untuk merebut pimpinan ditubuh PPP (Pada Muktamar ke 2 PPP, ulama dan politisi NU sayap PPP yang diprakarsai K.H.M. Chalil Bisri menggelar konsolidasi politik untuk merebut posisi ketua umum DPP PPP (dengan menjagokan Matori Abdul Jalil sebagai kandidat utama yang akan menyaingi Ismail Hasan Metarium yang didukung pemerintah, namun hasilnya gagal total.), di sisi lain Gus Dur terus asik bergandengan dengan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum PDI dan dengan Siti Hardianti Rukmana (Tutut) yang notabene pengurus Golkar. Sikap pulgar Gus-Dur ini, jelas mengundang kontroversi, sebab dipandang akan mengaburkan arti khittah. Namun perlu dicatat paska khittah 1926, kekuatan politik Nahdlatul Ulama jadi tersebar di tiga partai, sehingga masa Nahdlatul Ulama menjadi rebutan partai-partai. Walaupun banyak pengkritik yang menilai kekuatan Nahdlatul Ulama jadi kerdil, namun pada kenyataannya kepiawaian Gus Dur telah mengangkat citra Nahdlatul Ulama yang dulu selalu dipojokan menjadi rebutan, dari kacamata stategi politik jelas Nahdlatul Ulama menang segalanya. Hasil pemilu 1997, Golkar sebagai alat politik rezim Orde Baru menang telak. Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar, kembali mencalonkan Presiden Suharto untuk dipilih kembali jadi Presiden karena masih didukung oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Maka tidak terelakan lagi Suharto kembali terpilih jadi Presiden yang ke tujuh kalinya. Pada akhir tahun 1997, krisis ekonomi melanda Indonesia, legitimasi Suharto mulai digerogoti, krisis ekonomi melebar menjadi krisis politik, demontrasi anti Suharto merebak dimana, pamor Suharto mulai menyusut, gelombang unjuk rasa yang dipelopori Mahasiswa semakin meluas, akhirnya Harmoko sebagai ketua DPR / MPR waktu itu, meminta Presiden Suharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Tanggal 21 Mei 1998 Presiden Suharto meletakan jabatannya, digantikan oleh  Burhanudin Yusuf. Habibi.

M. KIPRAH POLITIK NU
    ZAMAN REPORMASI.  

Tanggal 21 Mei 1998 Suharto dijatuhkan, pemerintahan dilimpahkan pada Burhanudin Yusuf. Habibi, sebagai pemegang kekuasaan transisi menuju Pemilu 1999. Sehari setelah kelengseran Suharto, PBNU mulai kebannjiran surat usulan dari warga Nahdlatul Ulama diseluruh pelosok tanah air, usulan yang masuk ke BPNU sangat beragam, ada yang mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama Parpol, ada yang mengusulkan susunan pengurus parpol, dan ada juga yang mengusulkan lambing parpol. Tercatat 39 nama parpol yang diusulkan, nama terbannyak yang diusulkan adalah Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa. Sedangkan lambing parpol yang diusulkan, unsure-unsur terbanyak adalah gambar bumi, bintang sembilan dan warga hijau. Diantara usual yang paling lengkap adalah Lajnah sebelas Rembanng (Tanggal 6 Juni 1998, 16 hari paska Suharto lengser, di Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin di kota Rembang Jawa Tengah, digelar musyawarah untuk mendirikan partai sendiri dalam komunitas NU.) dan PWNU Jawa Barat. Tanggal 3 Juni 1998, BPNU menggelar rapat Harian Syuriyah  dan Tannfidziyah, rapat menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga Nahdlatul Ulama. Tim Lima diketuai oleh K.H. Ma’ruf Amin (Rais Syuriyah / Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, K.H. M. Dawam Anwar (Katib ‘Aam PBNU), Dr.KH. Said Aqil Siraj, M.A. (Wakil Katib ‘Aam PBNU), H.M. Rozy Munir, SE. M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jendral PBNU). Tanggal 20 Juni 1998, PBNU menggelar kembali rapat Harian Syuriyah  dan Tannfidziyah, rapat menghasilkan keputusan memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, dan membentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU), dengan anggota H. Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma’ruf, Lc., Drs.H. Abdul Aziz, M.A., Drs.H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H. Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni, dan Drs. Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru. Pada tanggal 22 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya.

Tanggal 26 sampai tanggal 28 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rencana awal pembentukan parpol. Pertemuan ini menghasilkan lima rancangan: (1). Pokok-poko pikiran Nahdlatul Ulama mengenai Reformasi Politik. (2). Mabda’ Siyasiy, (3). Hubungan Partai Politik dengan Nahdlatul Ulama, (4). AD / ART Partai. (5). Naskah Deklarasi.

Pada tanggal 4 sampai dengan 5 Juli digelar Silaturahmi Nasional Ulama dan tokoh NU yang diselenggarakan di Bandung Jawa Barat, guna memperoleh masukan yang lebih luas dari warga Nahdlatul Ulama. Dalam kesempatan ini muncul tiga alternatif mengenai nama parpol, yakni Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Umat dan Kebangkitan Bangsa. Tanggal 22 Juli 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi menyerahkan hasil akhir rapat harian syuriyah dan Tanfizdiyah, dengan hasil pinal parpol baru diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tanggal 23 Juli 1998, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dideklarasikan di kediaman K.H. Abdurahman Wahid (Ketua Umum PBNU), Ciganjur, Jakarta Selatan (Catatan KH.Abdurahman Wahid sebagai ketua PBNU waktu itu tidak masuk dalam jajaran pengurus PKB).

Pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa yang dilahirkan oleh PBNU bukan berarti NU kembali lagi ke politik praktis, justru pembentukan PKB untuk menghindari NU terjun dalam politik praktis hal ini yang perlu disadari bersama, alibi ini didukung bukti KH.Abdurahman Wahid sebagai ketua PBNU tidak masuk dalam jajaran pengurus, bahkan  bagi warga NU yang akan berpolitik harus melepaskan jabatannya di NU, sedangkan bagi mereka yang tidak berpolitik praktis silahkan tetap di NU. Pembentukan PKB hanya memenuhi aspirasi warga Nahdlatul Ulama.

Tanggal 7 Juni 1999 Pemilu dilaksanakan yang melahirkan enam partai politik yang memenuhi electoral threshol yaitu PDI-P 33,74% suara, atau 30,80% kursi, Golkar 22,44% suara atau 24,00% kursi, PKB 12,61% suara atau 10,20% kursi, PPP 10,71% suara atau 11,80% kursi, PAN 7,12% suara atau 7,00% kursi dan PBB 1,54% suara atau 2,60% kursi.

Realitas hasil pemilu, menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang pemilu 1999. Ini artinya PKB tidak cukup signifikan untuk menampilkan calon Presiden. Dalam logika demokrasi, Megawati sebagai calon Presiden dari PDI-P, mempunyai peluang lebih besar untuk menduduki kursi Presiden. Namun pada kenyataannya, Megawati ditentang oleh beberapa ormas Islam. Hal yang dipersoalkan dari diri Megawati adalah karena ia perempuan, diragukan komitmen keagamaannya dan diragukan kemampuannya. Walaupun demikian secara konsisten PKB tetap mendukung Megawati sebagai calon Presiden. Keputusan ini secara resmi merupakan hasil Musyawarah Pimpinan (Muspim) PKB pada tanggal 14-15 Agustus 1999. Keputusan ini didasarkan pada keinginan kuat PKB untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat, dimana partai pemenanglah yang berhak menduduki kursi kepresidenan. Kuatnya penolakan terhadap Megawati disatu pihak dan ingin tegaknya reformasi dipihak lain, dimana kalau dibiarkan begitu saja kemungkinan besar kelompok Habibi yang akan tampin, ini berarti kembali ke Orde Baru, maka ditampilkanlah Gus Dus sebagai sosok alternatif yang dapat meredam gejolak kedua kubu yaitu kubu Megawati dan kubu Habibi.
Ketika Sidang Paripurna DPR/MPR 20 Oktober 1999 mengesahkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI, gemuruh takbir dan selawat mengumandang di gedung wakil rakyat yang sangat bergengsi itu. Tampilnya Gus Dur sebagai simbol kiai nomor wahid seiring dengan lantunan selawat dan teriakan takbir secara spontan mengekspresikan perasaan dan harapan sebagian besar umat Islam, bahwa pada akhirnya kaum santri dan jajaran ulama dinyatakan sah dan memperoleh dukungan kuat untuk memimpin republik yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.

Khususnya keluarga besar NU, mereka pantas berbangga karena bisa menyumbangkan kadernya yang terbaik untuk tampil sebagai penyelamat bangsa dari bayang-bayang ancaman disintegrasi. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan terpilihlah Gus Dur sebagai Presiden yang siap dijadikan tumbal untuk menyelamatkan reformasi.

Dengan tampinya Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4, yang diperjuangkan oleh segenap lapisan masyarakat, yang dipelopori oleh para mahasiswa reformasi dapat diselamatkan.

Pada Bulan 24 Nopember Tahun 1999 NU menyelenggarakan Muktamar yang ke XXX. Pada muktamar ke XXX terpilih pasangan KH.Hasim Muzadi dan KH.Sahal Mahfudz . Muktamar ke XXX dalam bidang pembangunan system politik dan kesatuan Nasional merekomendasikan; NU memandang bahwa sistem politik yang memberangus pendapat dan mengekang kebebasan berorganisasi, merupakan pelanggaran hak-hak sipil dan hak-hak politik. Selama dua kepemimpinan Indonesia yaitu Presiden Sukarno dan Suharto, dengan kadar yang berbeda - telah terjadi pemberangusan pendapat dan pengekangan politik, sehingga selama itu tak ada kekuatan oposisi yang berarti. Pada era reformasi pemerintah harus menghilangkan tekanan-tekanan politik dengan mewujudkan situasi bebas yang lebih luas dalam berorganisasi dan berpolitik kepada masyarakat. Walaupun belum sepenuhnya bebas, berdirinya lebih dari 100 partai politik merupakan indikator terjaminnya kebebasan berpolitik rakyat. Di satu sisi hal itu bisa merupakan tanda terbukanya pintu-pintu penyalur aspirasi politik rakyat yang selama ini tertutup, di sisi lain hal itu bisa menjadi media petualang politik sekelompok orang untuk mencapai maksud sempit dengan cara yang tidak etis. Atas pertimbangan tersebut maka:
1) Muktamar menyerukan kepada pemerintah agar tetap mengembangkan kebebasan berpendapat dan berorganisasi bagi rakyat berdasar aspirasi politik apapun. Oleh karena itu pemerintah tidak perlu melarang keberadaan suatu organisasi politik apapun kecuali yang berideologi komunis.
2)   Muktamar menyerukan kepada pemerintah dan kepada masyarakat politik untuk mebangun dan memfasilitasi berkembangnya etika dan moral politik, agar rakyat di satu sisi dapat menjamin penyaluran aspirasi politik, disisi lain mempersempit peluang bagi praktek politik tidak etis dan tidak bermoral. Cara yang perlu ditempuh antara lain adalah setiap partai politik harus mempertanggungjawabkan kinerja politiknya dan pengelolaan keuangannya kepada publik pendukungnya secara transparan.
3)   Muktamar menyerukan kepada pemerintah agar tidak mengikut sertakan partai politik yang tidak memperoleh dukungan kurang dari 2% dalam pemilu mendatang.
4)   Muktamar menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam membangun dan memelihara berlangsungnya kehidupan yang demokratis dan berkeadilan dengan cara ikut berpartisipasi dalam megontrol kinerja parlemen dan pemerintah secara bebas dan kronstruktif.
5)   Kepada warga NU tetap dianjurkan untuk menggunakan hak politiknya secara bebas, kritis dan rasional sesuai dengan kultur dan aspirasi politiknya dengan tetap memegang prinsip-prinsip Khitthah NU tahun 1926 dan Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU yang diputuskan oleh Muktamar NU XXVIII di Yogyakarta serta mempertimbangkan hubungan historis antara NU dan partai yang berdirinya difasilitasi oleh PBNU.
6)   Kepada seluruh pengurus NU dari tingkat ranting hingga pengurus besar diserukan agar tetap menempatkan NU sebagai organisasi social keagamaan bukan sebagai organisasi politik. Oleh karena itu NU harus selalu bersifat kritis terhadap partai manapun dan mengontrol partai yang dianggap sebagai penyalur aspirasi politik warganya. Untuk kepentingan tersebut perlu ada " komisi politik" dalam organisasi NU.

Akibat dari sentralisasi kekuasaan dan ketidak adilan dalam distribusi kekayaan antara daerah dan pusat, telah melahirkan gejala-gejala disintregasi bangsa yang sejak akhir Orde Baru hingga era Reformasi nampak semakin meruncing. Muktamar mengkhawatirkan hal itu jika tidak segera dipecahkan akan menuju kepada perpecahan bangsa. Muktamar mendesak kepada pemerintah pusat untuk memecahkan masalah tersebut dengan daerah secara dialogis, demokratis dan adil. Sementara posisi setiap daerah dalam negara Indonesia berada dalam kedudukan yang sama, atau setiap daerah adalah istimewa karena mempunyai keistimewaannya sendirisendiri. Oleh karena itu jika wilayah Aceh memperoleh keistimewaan dalam hal-hal tertentu, make wilayah yang lain juga harus diberi peluang untuk menyatakan keistimewaannya dalam hal-hal tertentu pula. Tetapi jika pada seat ini terdapat perlakuan pemerintah pusat terhadap Aceh berbeda dari lainnya, harus dipandang sebagai cara pusat menebus dosa-dosanya kepada Aceh pada masa-masa yang lalu. Oleh karena itu Muktamar menghargai adanya tuntunan rakyat Aceh untuk melakukan referendum, namun Muktamar menghendaki agar Aceh tetap menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Muktamar meminta kepada pemerintah agar pelaksanaan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, memperhatikan tuntutan dan kebutuhan daerah, seperti yang dikehendaki oleh Daerah Riau dan Irian Jaya

Muktamar menyerukan kepada semua daerah propinsi di Indonesia dan kepada pemerintah pusat hendaklah setiap masalah-masalah yang menyangkut hubungan antara daerah dan pusat dipecahkan secara musyawarah dengan menggunakan pendekatan kultural, rasional dan keadilan, bukan atas dasar kekuasaan, dengan satu tujuan untuk menjadi negara kesatuan yang adil, dimana hak-hak setiap warga terjamin sehingga bagsa Indonesia dihargai oleh bangsa-bangsa dunia.
Menyadari bahwa pada akhir masa Orde Baru kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang rendah telah memberi pengaruh buruk kepada upaya pemulihan ekonomi masyarakat, rasa aman warga, dan kesejahteraan masyarakat, maka Muktamar xxx menyerukan kepada pemerintahan baru untuk segera memulihkan kepercayaan masyarakat melalui:

1) Pelaksanaan pemerintahaan yang bersih dan bertanggung jawab dengan segala konsekuensinya dilaksanakan secara sungguh-sungguh mulai dari tingkat pusat hingga di tingkat daerah, membangun dasar-dasar moralitas kekuasaan dhlam pemerintahan dan memberi ruang bagi pelaksanaan hak kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan termasuk transparansi kekayaan para pejabat dari tingkat pusat hingga daerah.
2) Segera menerapkan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No.22 dan 25 tahun 1999 dan untuk selanjutnya penekanan otonomi daerah pada wilayah Daerah Tingkat I. Bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah, juga perlu diperhatikan berlangsungnya penguatan peran kontrol DPRD kepada penyelenggaraan pemerintah daerah dan kontrol masyarakat/rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan kinerja para wakilnya.
3) Mendesak kepada pemerintah tetap melaksanakan pemekaran propinsi Irian Jaya menjadi 3 propinsi, tetapi oleh karena situasi dan kondisi daerah belum memungkinkan, maka pelaksanaan tersebut perlu ditangguhkan untuk sementara.
4)   Mempertegas pembedaan tugas, tanggung jawwab dan wewenang masing-masing unsur negara yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif dan menjamin kebebasan masing-masing unsur menjalankan tanggungjawabnya bebas dari campur tangan kekuasaan.
5)   Menyerukan kepada lembaga legislatif untuk menjalankan fungsi kontrol kepada pemerintah secara bersungguh-sungguh, menerima aspirasi rakyat yang diwakilinya melalui cara "open door" bagi rakyat yang ingin mengadukan aspirasinya, dan Iebih berpihak kepada kepentingan rakyat dari pada kepentingan pemerintah.
6)   Hendaklah unsur, yudikatif dengan teguh melaksanakan dan mengembangkan fungsinya secara mandiri dengan teguh memegah prinsip-prinsip. keadilan.
7)   Mengembalikan fungsi TNI/Polri sebagai pelaksana dan penjaga keamanan negara terhadap serangan pihak luar dan sesegera mungkin menghapus Dwi Fungsi TNI/Polri dalam system pemerintahan Indonesia.
Seruan NU kepada pemerintah akan terus dikumandangkan, NU tidak akan bosan-bosan mempengaruhi sitem pemerintahan, sehingga diharapkan pada gilirannya tercipta pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dapat memenuhi harapan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan (Lampiran Keputusan Muktamar XXX NU Nomor: 004/MNU-30/11/1999 NU Online).