BAB II
PERAN POLITIK NAHDLATUL ULAMA
DARI ZAMAN KE ZAMAN
A. SEJARAH
LATAR BELAKANG PENDIRIAN NU
Nahdlatul
Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya
bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan
bermasyarakat, manusia berusaha
mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin,
saling bantu membantu dan keseia sekataan merupakan persyaratan dari tumbuhnya
persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi
terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.
Pembentukan
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, merupakan akomodasi atas potensi dan peran
ulama-ulama pesantren yang secara kultur telah eksis sebelum abad dua puluhan.
Namun secara social politik peran ulama-ulama pesantren kurang diperhitungkan,
baik oleh Belanda sebagai penjajah, maupun oleh kalangan Islam Modern itu
sendiri, kelompok ulama pesantren hanya dianggap mampu bergerak dibidang
pendidikan ansich (M.
Imdadun Rahmat.Kritik Nalar Fiqh NU Tranformasi Paradigma Batsul Masa’il. (Jakarta: LAKPESDAM. Ed 1
Agustus 2002)), Kenyataan
ini yang telah mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Islamiah
yang mewadahi ulama-ulama tradisional. Hal lain yang mendorong lahirnya
Nahdlatul Ulama, adalah bentuk keinsapan para ulama tradisional untuk
mempersatukan kekuatan sehingga menjadi benteng yang kokoh dalam membela dan
mempertahankan ajaran Islam Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah (Drs.H.M.Solihin
Identitas NU Faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. CV.Mitra Usaha Mandiri Karawang
2001)
Menurut
Fajrul Falakh, sedikitnya ada tiga alasan berdirinya Nahdlatul Ulama; Pertama,
aksi cultural untuk bangsa, kedua aktifitas yang mencerminkan dinamika dan
kreatifitas kaum muda dan ketiga adalah usaha ekonomi kerakyatan dan
keprihatinan keagamaan Internasional (Muhammad Fajrul Falkh “Jamiyyah NU, Lampau,
Kini dan Datang” dalam Gus Dur NU dan Masyarakat sipil, ed.KH.Darwis (Yogyakarta:LkiS,1994).
Keprihatinan terhadap kondisi keagamaan Internasional terutama ketika Raja Ibnu
Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekah, serta hendak
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini
banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat
sambutan hangat dari keum modernis di Indonesia, baik kalangan
Muhammadiyah di bawah Pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bahwah pimpinan HOS
Tjokroaminoto. Sebaliknya kalangan pesantren yang selama ini membela
keberagamaan, menolak pembatasa bermazhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut.
Dengan
sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres
Al Islam di Yogyakarta tahun1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak
dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong
oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta
peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa
membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, pada bulan
Januari 1926, yang diketuai oleh KH
Wahab Hasbullah.
Komite
Hejaz bertugas mengirimkan delegasi ke Makkah dan menghubungi para ulama
terkemuka di seluruh Jawa dan Madura. Tanggal 31 Januari 1926, Komite Hijaz
mengundang para ulama terkemuka untuk membicarakan mengenai utusan yang akan
dikirim ke Muktamar di Makkah. Terpilih sebagai delegasi KH. Raden Asnawi Kudus
sebagai delegasi Komite Hijaz . Ketika utusan telah ditetapkan timbul
pertanyaan siapa dan atau intitusi apa yang berhak mengirim KH. Raden Asnawi ?
Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (Nama Nahdlatul Ulama atas usul KH. Mas Alwi), pada waktu dan tempat itu juga. (16
Rojab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926), kenyataan inilah yang telah mendorong lahirnya Nahdlatul Ulama
sebagai Jam’iyyah Islamiah yang mewadahi ulama-ulama tradisional.
B.
KIPRAH POLITIK NU
ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Organisasi
Ulama yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31
Januari 1926. diberi nama Nahdlatul Ulama atas usul KH.Mas Alwi bin Abdul Aziz, sedangkan masalah
lambing Nahdlatul Ulama diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah berdasarkan mimpi
sehabis melakukan shalat istiharah. Tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf Arab
adalah tambahan KH. Ridwan Abdullah sendiri (Bukan hasil istikharah)
Aktipitas
pertama Nahdltul Ulama sebagai Organisasi adalah mengutus delegasi untuk
menemui Raja Ibnu Sa’ud untuk menyampaikan tuntutan, delegasi yang
diberangkatkan adalah Kyai Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghanaim Al-Amiri
Al-Mishri. Adapun materi tuntutan yang akan disampaikan kepada Raja Ibnu Sa’ud
adalah sebagai berikut:
1.
Meminta kepada Raja Ibnu Sa’ud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat: Maliki. Hanafi,
Syafi’i dan Hambali.
2.
Memohon tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah
karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk mesjid, seperti tempat kelahiran
Siti Fatimah, bangunan Khaizuran dan lain-lain.
3.
Mohon agar disebar luaskan keseluruh dunia setiap tahun
sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal-ihwal haji, baik ongkos haji,
perjalanan keliling Makkah maupun tentang syekh.
4.
Mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negri Hijaz,
ditulis sebagai undang-undang supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena
belum ditulisnya undang-undang tersebut.
5.
Jam’iyyah NU mohon jawaban tertulis yang menjelaskan
bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Sa’ud dan sudah pula menyampaikan
usul-usul Nahdlatul Ulama tersebut (Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU
(Bisma satu Surabaya 1999).
Pendirian
NU sebagai Jamiyyah dan mengirim delegasi ke Makkah, merupakan kegiatan politik (Politik adalah Kegiatan ikut serta menentukan
arah kebijakan negara.)
kaum tradisional yang secara jelas-jelas ingin memperlihatkan jati dirinya,
bahwa kaum tradisional mempunyai kemampuan yang sama dengan mereka yang mengaku
kaum Islam Modernis.
Delapan
bulan paska kelahirannya Nahdltul Ulama
sebagai Organisasi menyelenggarakan
Muktamar pertama. Muktamar pertama berhasil memutuskan 27 masalah penting. Dari
27 masalah tersebut, 21 masalah agama, yang paling menonjol adalah masalah
madzhab. Atas dasar itu Muktamar
menegaskan “Mengharuskan bagi umat Islam zaman kini untuk mengikuti
salah satu dari madzhab empat dalam rangka menjalankan ajaran Islam Ahlussunnah
wal Jama’ah, sedangkan 6 masalah lain adalah masalah kesehatan (M.Imdadun Rahmat
(ED.), Kritik Nalar Fiqh NU, Transformasi Paradigma Batsul Masa’il.LAKPESDAM, Jakarta Agustus 2002).
Muktamar
Nahdlatul Ulama kedua diadakan pada tanggal 14 –16 Rabiul Tsani 1346 H bertepatan dengan (9-11 Oktober 1927)
bertempat di Hotel Muslimin Jalan Paneleh Surabaya.
Muktamar kedua menghasilkan putusan politik; meminta kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk memasukan kurikulum Agama Islam pada setiap sekolah umum di Jawa
dan Madura. Masalah perkawinan dibawah umur. Nahdlatul Ulama meminta kepada
pemerintah Hindia Belanda agar orang yang akan dijadikan penghulu atau naib
itu, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan para Ulama setempat.
Kegitan
politik NU terus berlanjut dan berlanjut terus sepanjang masa. Pada muktamar Nahdlatul Ulama ke XV diadakan
pada tanggal 15-21 Juni 1940 M yang
bertempat di Surabaya, menghasilkan putusan mengenai sikap NU terhadap calon
pemimpin Nasional. Dalam Muktamar ini NU telah yakin bahwa kemerdekaan akan
segera tercapai, sehingga perlu mengadakan rapat tertutup guna membicarakan
siapa calon yang pantas untuk menjadi Presiden pertama Indonesia.
Rapat rahasiah ini hanya diperuntukan 11 orang tokoh NU, Rapat dipimpin oleh
KH.Mahfudz Siddiq dengan mengetengahkan dua nama: IR.SOEKARNO dan DRS.MUHAMMAD HATTA. Rapat
berakhir dengan kesepakatan Ir. Soekarno sebagai presiden pertama dengan
dukungan sepuluh suara, sedangkan Drs.Muhammad Hatta sebagai wakilnya dengan
dukungan satu suara (Andree
Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).
C.
KIPRAH POLITIK NU
ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG
Pada bulan
Maret tentara Dai Nippon menggantikan kedudukan Belanda. Mulanya kedatangan
tentara Jepang disambut ramah oleh masyarakat Indonesi, karena disangka akan
melepaskan belenggu penderitaan, namun pada kenyataan tentara Jepang lebih
bengis dan lebih sadis, banyak orang yang dimasukan ke penjara tanpa alasan
yang jelas. Seminggu setelah pendudukan Batavia,
Kolonel Horie menyatakan dirinya diangkat oleh pemerintah Jepang menjadi kepala
Kantor Urusan Agama (Shumubu). Kebengisan dan kesewenangan-wenangan tentara
Jepang diperlihatkan dengan melarang semua kegiatan politik Bangsa Indonesia dalam
bentuk apapun, perlakuan Jepang mendapat reaksi keras dari masyarakat Indonesia.
Korban kesewenang-wenangan Jepang pada bulan April 1942 Rais Akbar Nahdlatul Ulama,
KH.Hasim Asy’ari dan ketua Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama, KH.Mahfudz Shiddiq
ditangkap tentara Jepang dan dipenjarakan tanpa alas an yang tepat. Pada
tanggal 1 Agustus 1942 para konsul Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan di
Jakarta, membahas pembelaan terhadap kedua pemimpinnya yang disekap Jepang.
Pada tanggal 18 Agustus 1942, kedua pimpinan Nahdlatul Ulama dibebaskan tanpa
sarat.
Pada
tanggal 7 Desember 1942 Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Jepang di Jawa,
Seiko Sikikan, mengundang 32 orang Ulama Jawa dan Madura termasuk KH.Hasim
Asy’ari, KH.Mahfudz Shiddiq dan KH.Wahid Hasim dalam sebuah resepsi
penghormatan Jepang kepada Ulama bertempat di Gubernur Batavia. Ini berarti
sebuah bentuk pengakuan Jepang terhadap keberadaan Kiai Nahdlatul Ulama.
Pada bulan
September 1943 secara resmi Jepang mengijinkan dan mengakui aktifitas kembali
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiah. Setelah diijinkan aktifitas Nahdlatul Ulama
lebih diefektifkan, pada tahun 1944 KH. Hasim Asy’ari dan Ir.Soekarno menjadi
penasihat Jawa Hokokai, ketika Jepang minta Jawa Hokokai mengumpulkan
pemuda untuk dilatih menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air), KH.A.Wahid Hasim
juga meminta kepada Jepang untuk melatih para santri di pesantren. Tentara
santri ini bernama HIZBULLAH dan SABILILLAH. Tentara Hizbullah dipimpin oleh
Saifudin Zuhri diri Nahdlatul Ulama, yang bermarkas di Jakarta. Sedangkan para Ulama memasuki
BARISAN SABILILLAH yang bermarkas di Malang Jawa Timur, Barisan Sabilillah
dipimpin oleh KH.Maskur konsul Nahdlatul Ulama.
Pada
tanggal 12 Oktober 1944, KH.Hasim Asy’ari selaku ketua Masyumi menerima kawat
teguran Syekh Muhammad El Amin al-Husaini (Pensiunan Mufti besar Baitul
Muqaddas) tentang janji kemerdekaan yang telah dijanjikan Jepang yang
dipidatokan oleh Perdana Mentri Kunaiki Koiso pada tanggal 7 September 1944.
untuk membahas kawat tersebut KH.Hasim Asy’ari mengadakan rapat.
Pada awal
tahun 1945 Jepang kalah perang melawan sekutu, semangat anti Jepangpun
berkobar, Tentara Hisbullah dan Sabilillah menyerbu dan melucuti tentara Jepang
sehingga Jepang menyerah Kalah. Pada tanggal 29 April 1945 dbentuk Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, disingkat
BPUPK) yang beranggotakan 62 orang salah satunya KH.A.Wahid Hasim. Pada akhir
Mei 1945 menurut kesaksian lisan Kiai Masykur, antara Soekarno dan tiga
pemimpin muslim: Kiai Wahid Hasim, Kiai Maskur dan Kiai Kahar Muzakkir
melakukan pembicaraan. Tentang Rumusan dasar Negara (Panca Sila), yang
kelak kemudian akan dipidatokan oleh
Soekarno (Andree
Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999.).
Tanggal 1
Juni 1945 Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia di dasarkan pada
Pancasila atau lima
dasar yitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme,
peri-kemanusiaan.
3. Permusyawaratan,
perwakilan, mufakat
4. Kesejahtraan
5. Ke-Tuhanan (H.Endang Saifuddin Anshari, MA.
Piagam Jakarta, CV Rajawali Jakarta
1986)
Dalam
penggodogan Pancasila selanjutnya menimbulkan ketegangan-ketegangan, sampai
Soekarno memanggil panitia BPUPKI yang berjumlah 62, untuk membentuk suatu
panitia kecil yang berjumlah 9 orang dengan tugas membahas kemungkinan kompromi
antara kelompok Islam dan Kelompok Nasionalis. Wahid Hasim duduk di kepanitia 9
yang mewakili Nahdlatul Ulama. Pada tanggal 22 Juni 1945 dasar negara mengenai
ketuhanan ditambahkan acuan syari’at dalaam kata-kata :dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab(Andree
Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).
Tanggal 10
Juli Piagam Jakarta dipertanyakan oleh tokoh Nasionalis sekuler dan Kristen,
sehingga terjadi perdebatan mengenai kekawatiran syariat Islam akan menimbulkan
masalah bagi agama lain dan adat istiadat. Untuk membahas kebebasan beragama
dibentuk lagi panitia yang beranggotakan 19 orang. Dalam pembahasan panitia 19
Wahid Hasim mengusulkan rumusan berikut: “ Agama Negara adalah Islam dengan
menjamin bagi pemeluk agama lain untuk dapat beribadah menurut agama
masing-masing”. Lebih jauh Wahid Hasim mengusulkan bahwa Presiden dan Wakil
Presidennya Harus beragama Islam.Pada tanggal 14 Juli, pada sidang pleno BPUPK (Panitia 62) Ki Bagus
Hadikusumo dari Muhammadiyah mengusulkan
rumusan baru, dengan menghapus kata “Bagi Pemeluknya”, yang berarti syariat
Islam harus dijalankan baik oleh orang Muslim, maupun orang non-muslim.
Pendapat tersebut ditentang oleh Soekarno. Pada tanggal 15 Juli, perdebatan
semakin sengit, sampai-sampai Kahar Muzakkir dan Ki Bagus Hadikusumo dengan
nada keras mengusulkan, kalau Piagam Jakarta tidak disetujui, maka lebih baik
semua acuan pada agama Islam dihapuskan. Tanggal 16 Juli, Soekarno menyeru
kepada kaum Nasionalis untuk bersedia berkorban menerima Piagam Jakarta dan persyaratan
Presiden harus orang asli yang beragama Islam (H.Endang Saifuddin Anshari, MA.
Piagam Jakarta. CV. Raja Wali Jakarta
1986). Akhirnya setelah
melakukan negosiasi semusa usul Nahdlatul Ulama yang mengambil jalan tengah
antara usul tokoh Muhammadiyah dan tokoh Nasionalis disetujui.
D.
KIPRAH POLITIK NU
ZAMAN KEMERDEKAAN
Pada
tanggal 17 Agustus Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno
dan Moh. Hatta, dengan demikian Piagam Jakarta menjadi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.
Pada malam tanggal 17 Agustus 1945, Moh.Hatta menerima kunjungan seorang perwira
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan-keberatan penduduk
dari Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam, mengenai dimuatnya Piagam
Jakarta pada Mukadimah Undang-Undang Dasar. Bila tidak diubah mereka lebih suka
berdiri diluar Republik Indonesia.
Tanggal 18 Agustus Moh.Hatta, memanggal empat orang Panitia Persiapan
Kemerdekaan yang dianggap mewakili Islam: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman
Singosdimedjo. Teuku Mohamad Hasan dan Wahid Hasim. Demi menjaga keutuhan
bangsa pada saat genting ini, mereka setuju untuk menghapuskan rujukan pada
Agama Islam dalam teks Mukadimah Undang-Undang Dasar. Sebagai gantinya Wahid
Hasim mengusulkan Agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, penambahan kata Esa berarti Tauhid yang tidak terdapat pada Agama
lain. Dengan demikian Indonesia
tidak menjadi negara Islam, namun menjadi Negara yang bertuhan satu
(Monoteis), dengan kata lain negara
Tauhid.
E.
KIPRAH POLITIK NU
ZAMAN REVOLUSI PISIK
September
1945 pasukan Inggris mendarat di Jawa mewakili sekutunya Belanda, yang berusaha
mengembalikan kekuasaannya di Hindia Belanda. Dalam waktu singkat Jakarta, Bandung dan Semarang telah jatuh ketangan tentara sekutu.
Menghadapi ancaman ini para Ulama Nahdlatul Ulama berkumpul pada tanggal 22
Oktober 1945 dan menyatakan perang jihad melawan tentara sekutu. (yang kemudian
dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad). Para Ulama “ memohon dengan sangat
kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang
nyata serta sebadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan,
Agama dan Negara Indonesia,
terutama terhadap pihak belanda dan kaki tangannya”( Andree Feillard, NU
Vis-à-vis Negara Lkis Yogyakarta 1999).
Perang berkecamuk disana sini, dengan dikeluarkannya resolusi Jihad, perlawanan
terhadap nika terjadi dimana-mana, keikut sertaan Kiai Sakti telah turut
mensepot semangat warga Nahdlatul Ulama dalam berjuang. Pada tanggal 3 Januari
1946, Nahdlatul Ulama secara penuh mengambil bagian dalam pemerintahan dengan
diberikannya jabatan mentri Agama, yang dijabat oleh KH.A.Wahid Hasim. Bagi Nahdlatul Ulama
jabatan ini merupakan kunci yang membuatnya berada pada posisi yang sangat
menguntungkan untuk jangka panjang karena telah memberikan landasan yang sah
bagi aktivitas social keagamaannya. Pada tanggal 25 Mei 1947 Nahdlatul Ulama
menyelenggarakan Muktamar ke tujuh belas bertempat di Madiun, dalam muktamar
dibahas situasi dan kondisi negara menghadapi revolusi pisik dimaksudkan untuk
mengambil langkah-langkah strategis menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kegagalan diplomasi dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menyebabkan tanggal 27 Desember 1949
Indonesia diubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), dalam pemerintahan
yang baru Nahdlatul Ulama sangat kesulitan mendapatkan posisi, karena disamping
jumlah kader NU sedikit, dukungan dari Islam modernis tidak ada, namun demikian
KH.A.Wahid Hasim masih diberi posisi sebagai mentri Agama. Pada tanggal 30
April – 3 Mei 1950 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke delapan belas
bertempat di Jakarta, dalam berbagai hal yang berhubungan dengan agama,
perkembangan politik dan hubungan NU dengan negara.
F. NU
MENJADI PARTAI POLITIK
Ketidak
harmonisan kaum tradisional dengan kaum modernis, telah memaksa Nahdlatul Ulama
untuk menentukan sikap sendiri yaitu mendirikan Partai sendiri, sehingga pada
tanggal 28 April – 1 Mei 1952 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke
sembilan belas bertempat di Palembang.
Muktamarnya di Palembang tahun 1952, menegaskan Asas dan tujuan Partai
Nahdlatul Ulama, dimana dalam pembahasan Asas dan tujuan Partai
Nahdlatul Ulama adalah “menegakkan
Syari’at Islam, dengan berhaluan salah satu dari pada empat mazdhab: Syafi’i,
Maliki, Hanafi dan Hambali” (Choirul Anam. Pertumbuhan dan Perkembangan NU
(Bisma satu Surabaya 1999) serta melaksanakan berlakunya
hukum-hukum Islam dalam masyarakat. Dengan penegasan Asas dan tujuan Partai,
memperjelas arah dan tujuan perjuangan Nahdlatul Ulama dalam berbangsa dan bernegara.
Pada bulan Juli 1953, Nahdlatul Ulama masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo,
disini Nahdlatul Ulama memainkan perannya, bukan saja Mentri Agama yang
dipegang orang Nahdlatul Ulama, juga Mentri Pertanian, dan bahkan Wakil Perdana
Mentri, dengan demikian peran dan fungsi Nahdlatul Ulama dalam membangun bangsa
ini bukan sekedar pada segmen agama saja melainkan pada berbagai hal yang
berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, terutama yang berkait erat dengan
kekuasaan Negara. Pada tahun 1954, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Konferensi
Alim Ulama yang diselenggarakan di Cipanas Jawa Barat dengan keputusan
mengangkat Soekarno dan pemerintahannya sebagai “Walyyul Amri ad-daruri
bisy-syaukah”, gelar ini menjadikan Soekarno menjadi kepala negara yang sah.
Penganugrahan gelar kepada Soekarno, disamping sebagai sebuah bentuk legalisasi
terhadap khalifah (penguasa), hal lain juga merupakan pengakuan bahwa
keberadaan Soekarno sebagai pemimpin negara (Presiden), hanya sebatas dalam
keadaan darurat.
Pada tanggal
9-14 September 1954 Nahdlatul Ulama
menyelenggarakan Muktamar ke dua puluh diadakan di Surabaya. Dalam masalah politik dibahas
mengenai strategi Nahdlatul Ulama sebagai sebuah partai politik dalam memainkan
perannya.
Pada Pemilu
tahun 1955, Nahdlatul Ulama mendapat sukses yang luar biasa, dari 8 kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat sementara meningkat menjadi 45 kursi dengan 18,4%
suara, suara terbanyak yang diperoleh Nahdlatul Ulama dari Jawa. Kemenangan
Nahdlatul Ulama diparlemen menambah kiprah NU dalam membuat kebijakan negara,
Peran Politik NU semakin menonjol meninggalkan ORMAS Islam modern yang dulu
mengucilkan NU. Sebagai bentuk kegiatan rotin organisasi yang harus
dilaksanakan dalam keadaa apapun, pada bulan Desember 1956 Nahdlatul Ulama menyelenggarakan
Muktamar ke XXI diadakan di Medan. Dalam muktamar ke XXI tidak dilakukan batsul
Masail diniah, hal ini disebabkan terkonsentrasinya para tokoh Nahdlatul Ulama
pada politik kenegaraan. Hal ini dapat dimaklumi, disamping status NU sudah
bergeser dari Ormas Islam yang bersifat Tradisional menjadi partai politik
modern yang memperoleh jumlah kursi yang signipikan, juga keadaan negara,
memaksa NU harus konsen pada masalah politik, karena suhu politik negara pada
waktu itu tidak setabil. Hal ini dapat dilihat pada tanggal 14 Maret 1957
terjadi perubahan besar, kabinet Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri setelah
mengumumkan SOB (Keadaan Bahaya). Dalam keadaan cukup genting NU masih stabil
memainkan peran politiknya, dengan melakukan bargaining dengan Nasionalis. Pada
bulan April 1957 lewat Presiden Soekarno berhasil membentuk kabinet baru
dibawah Ir.Djuanda Kartawidjaja. Kabinet ini merupakan kwalisi PNI dan NU.
Pada Tahun
1957 Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi terpimpin. PKI menyatakan
setuju dengan konsep Soekarno ini seperti PNI dan Murba. Masyumi dan Partai
Katolik menolak dengan keras, sedangkan Nahdlatul Ulama, PSI dan Partai lainya
menolak secara kurang tegas. Dalam sidang Pleno tanggal 9-10 Maret, NU
menyetujui gagasan Presiden Soekarno dengan syarat: “Dewan Nasional hanya
berfungsi sebagai penasehat dan tidak mempunyai konsekwensi politis dan
pembentukannya dilakukan oleh Kabinet bersama Kepala Negara.
G. PERAN NU DALAM MENUMPAS PK
I
Pada
tanggal 30 September 1965 PKI melakukan pemberontakan yang dikenal Gerakan 30
September. Tanggal 30
September 1965, Nahdlatul Ulama melakukan rapat darurat yang
memutuskan bahwa para pemimpin NU yang sudah lanjut usia harus segera
meninggalkan rumah mereka untuk bersembunyi tanpa keluar kota. Mandat kepemimpinan diserahkan kepada
Zainuri Echsan Subchan yang masih berumur 34 tahun, yang saat itu menjabat
sebagai wakil ketua IV PBNU. Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam jendral Angkatan
Darat diculik dan dibunuh. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Jendral Suharto yang
saat itu masih panglima kosrad dalam pidatonya menyatakan akan membasmi komunis
hingga ke akar-akarnya.
Tanggal 3
Oktober 1965, Pimpinan Ansor secara resmi minta pada anggotanya untuk dengan
jalan bagai manapun membantu pihak ABRI untuk memulihkan keamanan dan menjaga
keutuhan bangsa serta menyelamatkan revolusi dibawah pimpinan Presiden /
Panglima Tertinggi ABRI / Pemimpin Besar Revolusi / Pahlawan Islam dan
Kemerdekaan, Bung Karno. Untuk itu, dalam rangka menumpas G 30 S dan
antek-anteknya, para anggotanya diharapkan menunggu dan hanya melaksanakan
intruksi dari pimpinan koordinasi Djama’ah NU yang telah dibentuk di pusat dan
yang akan dibentuk di daerah.
Tanggal 4
Oktober 1965, KAP-Gestapu (KAP-Gestapu didirikan oleh Zainuri Echsan Subchan dengan
Herry Chan Silalahi dari partai Katolik)
mengadakan demontrasi pertama yang menuntut pelarangan partai-partai yang telah
merencanakan atau mendukung “Gerakan 30 September” yaitu PKI dan ormas-ormasnya
yang mendalangi dan bersimpati terhadap G 30 S. Tanggal 4 Oktober 1965, malam
harinya televisi dan radio menyiarkan pernyataan yang menuntut dibubarkannya
PKI, gerak serta media-medinya, dan menyerukan kepada semua kaum muslimin agar
mendukung ABRI untuk memulihkan ketentraman umum.
Pada
tanggal 6 Oktober 1965, PKI secara resmi menyerahkan penyelesaian masalah
kudeta kepada Presiden Soekarno dan memutuskan untuk menghindari perlawanan
Fisik.
Tanggal 7
Oktober 1965, Koran harian Nahdlatul Ulama Duta Masyarakat, ditajuk rencananya
menyatakan: Bahwa keputusan yang paling tepat dan paling baik adalah
memberantas komunis, akar-akarnya, komplotannya, pembelanya dan semua yang
bertindak bersamanya, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Sejak tanggal 8
Oktober 1965, pemuda muslim membakar markas besar PKI di Jakarta, mengobrak
abrik dan menjarah rumah tokoh komunis. Penangkapan tokoh komunis dilakukan
oleh Angkatan Bersenjata.
Pada
tanggal 14 Oktober 1965, Soekarno dipaksa mengalah pada Angkatan Bersenjata dan
mengangkat Soeharto sebagai Mentri / Panglima AD menggantikan Jendral Ahmad
Yani. Tanggal 17 Oktober1965, komando Angkatan Darat dikirim ke Jawa Tengah
untuk menormalkan situasi. NU membantai komunis di Jawa Timur diwilayah
kekuatannya, sejak saat itu pemuda Ansor menghabisi komunis. Di Jombang kota kelahiran NU,
aksi-aksi anti komunis dimulai lebih awal, tanpa menunggi Angkatan Bersenjata,
dan meluas hingga daerah-daerah sekitarnya.
Dilain tempat Kiai Machrus Ali melarang para pemuda membunuh orang
komunis yang untuk melindungi dirinya mengucapkan kalimat syahadat dan dengan
demikin secara langsung memeluk Agama Islam (Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara
Lkis Yogyakarta 1999).
Bulan
Desember 1965, setelah turunnya perintah Panglima Daerah Militer, partai dan
ormas Islam menempatkan diri di belakang tentara dalam kampanye anti komunis.
Pada bulan
Desember 1965, sebuah tim angket resmi menyimpulkan jumlah korban yang jatuh
adalah 78.500 jiwa di seluruh Indonesia,
suatu angka yang dikecilkan oleh tim agar tidak menimbulkan kemarahan Presiden
Soekarno. Meskipun demikian Soekarno tetap menyalahkan Ansor atas
“Kanibalismenya”. Untuk mengobati kekecewaan Soekarno terhadap Ansor yang
dipandang sebagai kanibal, pada tanggal 30 Januari 1966, pada hari ulang tahun
Nahdlatul Ulama ke 40 yang dirayakan besar-besaran, Idham Chalid menyatakan
“Nahdlatul Ulama akan hidup dan mati bersama-sama Bung Karno untuk Allah.
Berbeda
dengan sikap Soekarno yang mempersalahkan Ansor, Panglima Daerah Militer Jawa
Timur, Mayjen Basuki Rachmat pada bulan Februari 1966, mengucapkan selamat atas
kerja sama yang baik dengan Nahdlatul Ulama beserta pemudanya dalam membasmi
PKI.
Dalam upaya
menjaga hubungan baik dengan Soekarno pada bulan Juni 1966, Kiai Wahab
Hasbullah menyatakan lagi dukungannya terhadap Soekarno, dengan menegaskan Nahdlatul
Ulama akan mengajukannya sebagai calon di semua Pemilihan Umum mendatang.
Situasi politik paska G 30 S PKI terus memanas, masyarakat yang dipelopori
mahasiswa mendesak Soekarno untuk meletakan jabatan, puncaknya pada tanggal 11 Maret 1966, terjadi pelimpahan
kekuasaan dari Soekarno ke Suharto, lewat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar),
Soekarno memerintahkan Jendral Suharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan demi menjaga keamanan, ketertiban dan stabilitas pemerintahan dan
jalannya Revolusi, dengan tetap menjaga keamanan pribadi dan kekuasaan
Presiden.
H.
KIPRAH POLITIK NU
ZAMAN ORDE BARU
Selang
beberapa lama setelah penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Suharto (11
Maret 1966), Mejlis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
mengalami perombakan, sebagian diserahkan pada NU, sehingga terjalinlah satu
kerjasama antara ABRI dan gerakan tradisional, persekutuan yang diibaratkan
oleh Achmad Sjaichu, wakil ketua II Nahdlatul Ulama, sebagai hubungan antara
saudara sekandung. Peran
penting yang dimainkan Nahdlatul Ulama dalam mendudukan Suharto segai Presiden
sangat ditentuka oleh dua tokoh yang memaikan peran yang menentukan, yaitu KH.
Achmad Sjaichu sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-GR), dan Subchan
ZE (Nama
lengkapnya Zainuri Echsan Subchan)
di Mejlis Permusyawaratan Sementara (MPRS). Pembersihan dalam tubuh
DPR-GR telah dimulai sejak tahun 1966. Tanggal 8 April, reorganisasi pertama
telah memaksa 62 anggota PKI meninggalkan DPR-GR. Kemudian pada tanggal 17 Mei
1966, lima belas hari setelah pengangkatan Achmad Sjaichu sebagai ketua DPR-GR,
sekitar 136 komunis anggota DPR-GR yang terbunuh atau ditahan digantikan.
Tanggal 20 Juni sampai dengan tangal 6 Juli 1966 MPRS menyelenggarakan sidang
yang kemudian mengakibatkan jatuhnya Soekarno, Sidang Mejlis mengesahkan
kekuasaan luar biasa Surat Perintah 11 Maret.
Tanggal 25
Juli 1966, kabinet Ampera terbentuk, Nahdlatul Ulama menempati posisi Mentri
Agama dan Mentri Kesejahtraan Rakyat. Tanggal 10 Januari 1967, melalui sebuah
pidato Soekarno menyangkal bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa 1965.
Namun penjelasan itu ditolak oleh para mahasiswa maupun kalangan radikal NU.
Yusuf Hasim wakil ketua I Ansor, menuntut agar peran Soekarno dalam kudeta
diperiksa dan keadilan diterapkan kepadanya seperti kepada rakyat lainnya.
Achmad Sjaichu mendukung tuntutan tersebut.
Pada
tanggal 27 Januari 1967, melalui Dekrit Presiden, anggota DPR-GR yang berjumlah
242 anggota ditambah 108 anggota, sehingga berjumlah 350 orang. Awal Februari
1967, Nurdin Lubis, juru bicara kelompok NU di DPR-GR, mengusulkan kepada
kelompoknya sebuah momerandum yang berisi 10 halaman. Isi momerandum itu
menolak laporan Soekarno mengenai perannya dalam Gerakan 30 September 1965.
Dalam rencana resolusinya, Lubis meminta agar dilangsungkan suatu sidang
istimewa MPRS untuk mencopot Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden,
pengadilan menyelidiki peran Soekarno dalam peristiwa G 30 S, dan dipilihnya
seorang presiden baru secara ad interim.
Tahun 1967,
calon yang ditampilkan untuk kursi Presiden adalah Jendral Nasution. Ketika
Nurdin Lubis mengajukan resolusi agar Soekarno dicopot dari jabatannya sebagai
Presiden, NU masih belum mempunyai calon Presiden baru, sementara ABRI
mencalonkan Suharto. Mengingat kegigihan Suharto dalam memberantas PKI dan
Suharto orang Jawa, meskipun orang mengatakan ia tidak taat menjalankan ibadah
dan dekat dengan aliran kejawen, namun ia juga pernah sekolah di sekolah
Muhammadiyah, atas dasar itu Nahdlatul Ulama tidak keberata. Tanggal 23
Februari resolusi kedua yang dikeluarkan oleh Djamaluddin Malik anggota DPR-GR
dari Nahdlatul Ulama, disahkan. Resolusi ini meminta agar MPRS mengangkat
Jendral Suharto menjadi Presiden republik Indonesia. Tanggal 8 hingga 11
Maret 67 MPRS bersidang, hasilnya mencopot semua kekuasaan Soekarno dalam
pemerintahan serta melarangnya melakukan kegiatan politik hingga pemilihan umum
mendatang. Suharto dianngkat menjadi Presiden ad-interim. Dizaman pemerintahan
baru yang kelak akan dikenal dengan sebutan Orde Baru.
I. AWAL
KERETAKAN DENGAN ORDE BARU
Andil
Nahdlatul Ulama dalam mengangkat karier politik Suharto terlihat melalui
Resuffel DPR-GR dan dua resolusi yang mengabsahkan peralihan kekuasaan ke
tangan Suharto.Yang perlu diketahui
sampai tahun 1971, system politik masih menggunakan warisan Orde Lama.
Atas dasar itu Subhan ZE melancarkan kritik-kritiknya yang makin tajam. Hal
lain yang menyebabkan terjadinya banyak pertikaian terutama soal pelaksanaan
Pemilihan Umum yang sejak tahun 1955 belum pernah diadakan lagi. ABRI karena
belum memiliki partai Politik berusaha mengulur waktu untuk penyelenggaraan
pemilu. Tahun 1967 Ansor meminta agar Pemilihan Umum diselenggarakan paling
lambat tahun 1967, namun MPRS memutuskan
Pemilu diselenggarakan paling lambat tanggal 5 Juli 1968.
Pengaktifan
kembali Penetapan Presiden (Penpres 2/195) yang melarang para pejabat tingga
menjadi anggota Partai Polliti menimbulkan
reaksi yang keras. Sebagai pemegang Departemen Agama NU terkena aturan
itu (Dizaman
Orde Lama, NU terkena aturan itu dan terulan kedua kalinya di zaman Orde Baru.). Diantara para politisi Nahdlatul
Ulama banyak yang menjadi pegawai negri, reaksi Subchan dan Mohammad Dachlan
menuntut pembatalan PenPres tersebut. Ancaman yang lebih menyerukan mulai
terasa ketika rancangan undang-undang politik diajukan pada akhir November
1966. Rancangan undang-undang mengenai Partai Politik ini menuntut mereka juga
organisasi-organisasi social lain, untuk mencantumkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai asas. Ide ini muncul dalam seminar Angkatan
Darat di Bandung tahun 1966. Menurut rancangan undang-undangtersebut,
partai-partai menjadi tiga kelompok, yaitu Nasional, Agama dan
Sosial-Pancasila. Pemerintah mempunyai hak untuk membubarkan partai, Pencalonan
Presiden secara independen tidak diperbilehkan, partai baru tidak diizinkan
dibentuk. Golongan liberal Nahdlatul Ulama memprotes usaha untuk memberikan 50%
kursi di DPRD, DPR dan MPR kepada Golkar dan Angkatan Bersenjata, suatu gagasan
yang menyerupai Dewan Nasional tahun 1958. Kritik-kritik mulai dilontarkka
kepada Pemmerintahan Orde Baru, terutama dibidang kebijakan ekonomi yang
mematikan pengusaha kecil. Dalam waktu dua tahun sesudah ABRI berhasil
menggantikan rezim Orde Lama, telah muncul banyak sumber ketidak cocokan. NU
secara bertahap menjadi kelompok Oposisi. Perbedaan prinsip kalangan Nahdlatul
Ulama dengan ABRI dari hal-hal tersebut diatas telah menjadikan kedua kelompok
kekuatan tersebut berhadap-hadapan.
J. NU
PUSI MEMBUAT
PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
Setelah
kehilangan Departeme Agama, Nahdlatul Ulama dikejutkan kembali dengan
penggabungan partai-partai politik menjadi dua partai, NU, Parmusi, PSII dan
Perti digabung menjadi PPP, sedangkan PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI,
Murba menjadi PDI ditambah satu Golongan yaitu Golkar.
Sebagai
bentuk kelanjutan dari pusi pada tanggal 5 Januari 1973, PPP dibentuk dengan
tujuan mempertahankan dan membangun negara Republik Indonesia atas landasan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat adil dan makmur yang
diridhoi Allah SWT. Ketua umum DPP PPP diberikan kepada H.M.S. Mintareja dari
Parmusi, sedangkan Nahdlatul Ulama,
menduduki Sekretaris Jendral yang dijabat oleh Jahja Ubaid. Tiga badan lain
dalam DPP PPP diserahkan pada NU, yaitu,
Presiden, Ketua Mejlis Pertimbangan Partai dan Mejlis Syura. Akan tetapi dalam
operasional Partai, ketua umum yang sangat menentukan, sebab di DPP ketua umum
memegang peran-peran yang sangat penting.
Semula
dipusikannya Partai Nahdlatul Ulama ke PPP tidak ada masalah, tahun 1975
terjadi consensus, dalam consensus disebutkan bahwa distribusi kekuasaan antar
unsure partai yang fusi kedalam PPP diatur seperti perimbangan hasil Pemilu
1971, namun pada kenyataan, ketika pemilu 1977, berlangsung PPP berhasil
menambah perolehan suara 5 kursi, konsensun 1975 dihianati, sehingga Nahdlatul
Ulama kehilangan 2 kursi.
Terbentuknya
satu partai Islam ternyata merupakan perangkap bagi Nahdlatul Ulama, setiap
mendekati Pemilu konplik internal dikalangan partai semakin menguat, hal ini
merupakan iklim yang sengaja diciptakan untuk mengembosi Nahdlatul Ulama. Tidak
cukup sampai disana dalam upaya melemahkan kekuatan Nahdlatul Ulama, pada tahun
1975, rezim Orde Baru membentuk Mejlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai tandingan
Nahdlatul Ulama.
Peningkatan
2% di kalangan Islam pada pemilu 1977, membuat Golkar kawatir, untuk
mengantisipasi semakin solidnya umat Islam, pada bulan Juli 1978, Golkar
mendirikan Mejlis Da’wah Islamiyah Golkar yang bekerjasama dengan GUPPI.
Tahun 1978
pucuk pimpinan PPP yang semula dipegang H.M.S. Mintareja, diambil alih oleh
Islam Modernis dengan tampilnya John Naro, dengan tampilnya John Naro kalangan
tradisional semakin terpinggirka. NU
menelan kekecewaan yang kesekian kalinya. Pengangkatan John Naro tidak terlepas
dari sekenario Ali Murtopo. Bagi Ali Murtopo, Naro merupakan satu-satunya orang
yang dapat mengalahkan primodialisme. Kelicikan Golkar dalam memainkan politik,
bukan hanya sekedar mengerogoti dari luar, akan tetapi sudah merusak kedalam
dengan dimasukannya John Naro ke PPP dimana didalammnya ada NU, menyikapi hal
itu pada tahun 1979, Muktamar NU ke XXVI digelar, yang diselenggarakan di Semarang. Akibat
terakumulasinya kekecewaan kalangan Nahdlatul Ulama, dan semakin renggangnya
hubungan Idham Cholid sebagai ketua Nahdlatul Ulama dengan beberapa ulama
berpengaruh, membuat Rais “Aam K.H. Bisri Syamsuri sempat menentang
pengangkatan K.H. Idham Cholid sebagai ketua umum tanfizdiyah Nahdlatul Ulama,
yang kemudian sikap ini diikuti oleh ulama sepuh K.H.R. As’ad Syamsul Arifin
dari Situbondo (A.Efendi
Choeri. PKB Politik Jalan Tengan NU, Eksperimentasi Pemikiran Islam Inklusif
Pasca kembali ke khittah 1926, Pustaka Ciganjur Januari 2002.). Memasuki Pemilu 1982, PPP
mengasumsikan perolehan suara sama dengan pemilu 1977, namun seperti yang telah
saya urai terdahulu mengenai konsensus 1975, sebagai sebuah kesepakatan fusi,
bahwa distribusi kekuasaan antar unsure partai yang fusi kedalam PPP diatur
seperti perimbangan hasil Pemilu 1971,
kini mulai diusik oleh MI, MI menuntut perubahan perimbangan suara
dengan mengurangi jatah Nahdlatul Ulama, perimbangan yang diusulkan MI sebagai
berikut: Nahdlatul Ulama 49, MI, 30, SI, 15, dan Perti 5. Perimbangan seperti
ini jelas sangat merugikan Nahdlatul Ulama.
Tanggal 27
Oktober 1981, Naro menyerahkan daftar caleg PPP
kepada pemerintah, 29 caleg
Nahdlatul Ulama ditempatkan pada urutan terbawah sehingga kemungkinan
untuk terpilih tidak ada. Konplik Nahdlatul Ulama dan MI dalam PPP semakin
melebar, sampai akhirnya 29 orang tokoh Nahdlatul Ulama harus tergusur dari
nominasi calon terpilih mewakili PPP. Nahdlatul Ulama sangat kecewa, namun
gagasan pengundurandiri Nahdlatul Ulama dari PPP menjelang pemilu tampak sukar
dilaksanakan karena akan mengganggu stabilitas system politik.
Hasil
Pemilu tahun 1982, Nahdlatul Ulama kehilangan 5 kursi, di banding hasil pemilu
tahun 1977, hal ini disebabkan PPP yang telah disetir Golkar, juga
kecurangan-kecurangan lain yang telah dilakukan Golkar di desa –desa (Kampanye Pemilu tahunn
1982 memakan korban 50 orang meninggal dunia). Tekanan Golkar
dari luar yang semakin kuat ditambah tekanan dari dalam dimana PPP sudah
terkontaminasi dan tidak pernah konsisten dengan janjinya terutama dalam hal
pembagian jatah kursi, membuat NU semakin pesimis dengan politik, pada tanggal
5-11 Juni 1979, Nahdlatul Ulama menyelenggarakan Muktamar ke XXVI bertempat di
Semarang. Di tengah polemik pengunduran Nahdlatul Ulama dari Politik, para
ulama memutuskan untuk memecat Idham Chalid, kemudian para ulama pergi ke
Jakarta untuk bertemu Idham Chalid dan menyuruh mundur. Tanggal 6 Mei 1982,
tepatnya setelah pemilu 1982, dilangsungkan, Idam Chalid menandatangani surat pengunduran diri.
K. NU
KEMBALI KE KHITHOH
Pada bulan
Agustus 1983, Presiden Suharto kembali kerencana semula, semua organisasi
keagamaan diminta menerima Pancasila sebagai satu- satunya asas. Undang-undang
keormasan menjadikannya sebagai syarat bagi organisasi-organisasi tersebut
untuk tetap boleh melanjutkan kegiatannya. Nahdlatul Ulama menentang keras
rencana tersebut karena dengan Pancasila menjadi asas tunggal, mungkin saja
lama kelamaan akan menggantikan agama Islam. Tahun 1983, Presiden Suharto
menyerahkan Departemen Agama kepada Munawir sjadzali, seorang muslim modernis
yang dekat dengan kalangan Islam Progresif, dan dia juga dekat dengan Nahdlatul
Ulama, karena dimasa mudanya pernah tinggal dirumah Wahid Hasim untuk beberapa
lama, hubungan Nahdlatul Ulama pemerintah mulai didekatkan, terjadilah kompromi
pancasila. Pada bulan September 1983 Kiai As’ad menghadap Presiden untuk
meminta izin mengadakan musyawarah Nasional Para Ulama. Kepada Presiden Kiai
As’ad kembali mengajukan pertanyaan, yaitu apakah sila pertama Pancasila
benar-benar berarti mengakui tauhid. Presiden Suharto secara singkat
membenarkannya seraya menganggukan kepala(Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara Lkis
Yogyakarta 1999).
Bulan
Desember 1983, Munas Alim Ulama diselenggarakan di Situbondo, kesepakan
mengenai asas tunggal belum tercapai, Kiai Ahmad Siddiq menyampaikan pidato
tertulisnya yang mengatakan bahwa Pancasila dan Islam sebagai dua kesatuan yang
terpisah tetapi tidak bertentangan; Pancasila adalah idiologi sedangkan Islam
adalah Agama. Dasar negara (Pancasila) dan agama Islam adalah dua hal yang
dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh
dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus
membuang yang lain (K.H.
Achmad siddiq, Pidato Pemullihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926, 10 Desember 1983).
Belum pinalnya pengakuan Nahdlatul Ulama terhadap asas tunggal
Pancasila, telah mendorong kalangan Nahdaltul Ulama untuk segera
menyelenggarakan Muktamar yang ke XXVII, dalam upaya menegaskan keputusan-keputusan
Musyawarah Nasiona. Muktamar Nahdlatul Ulama yang ke XXVII diselenggarakan pada
tanggal 8-12 Desember Tahun 1984 yang bertempat di Situbondo. Sebagai bentuk
implementasi hasil muktamar, pada muktamar ke 27 Pancasila dicantukan sebagai
asas, namun Islam tetap diletakkan di tempat utama di dalam Pasal 3 sebagai
Aqidah.
BAB
II
AQIDAH
/ ASAS
Pasal
3
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah
diniyyah Islamiyyah beraqidah / berasas Islam menurut faham Ahlussunnah wal
Jama’ah dan menganut salah satu mazdhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara NAHDLATUL ULAMA berpedoman kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yng adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan /perwakilan, Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Agama juga
dicantumkan dalam Pasal 5 yang berjudul tujuan.
BAB IV
TUJUAN
DAN USAHA
Pasal
5
Tujuan Nahdlatul Ulama adalah
berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jam’ah dan menganut salah
satu dari mazdhab empat, ditengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keputusan
yang paling penting hasil muktamar ke 27 di Situbindo adalah: NU kembali ke
Khittah 1926 dengan meninggalkan politik praktis, menegaskan penerimaan
Pancasila sebagai asas tunggal, dan terpilihnya K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
sebagai Ketua Umum PBNU.
Hasil
negosiasi antara Nahdlatul Ulama dengan Pemerintah mengenai Pacasila sebagai
asas tunggal, telah membuat wajah baru dengan dimasukannya Pancasila kedalam
tek Anggaran Dasar baru Nahdlatul Ulama. Ini merupakan pekerjaan sukar dan
rawan karena harus memuaskan perasaan Pemerintah dan sekaligus para ulama yang
tidak mungkin melepaskan identitas keagamaannya. Penyeragaman idiologi telah
menghilangkan makna partisipasi dalam DPR, dan oleh karenanya Nahdlatul Ulama
memutuskan keluar dari politik praktis kembali ke Khittah 1926. mulai saat itu
secara resmi Nahdlatul Ulama keluar dari PPP.
Dengan
kembalinya Nahdlatul Ulama ke khittah 1926, dan diterimanya Pancasila sebagai
asas tunggal, ditambah keluarnya Nahdlatul Ulama dari arena politik praktis,
telah mengubah pandagan rezim Orde Baru terhadap Nahdlatul Ulama, ketegangan
mulai mencair, harmonisasi mulai dijalin,
pamor Nahdlatul Ulama mulai menanjak, reaksi yang ditujukan terhadap NU
oleh berbagai kalangan di luar komunitas itu tampak beragam: mulai dari yang
merasa terkejut hingga yang merasa perlu untuk melontarkan kutukan.
Penerimaan
NU terhadap Pancasila dan Negara kesatuan Republik Indonesia sudah pinal. Sikap NU
tidak berbicara bentuk negara harus seperti apa ?, dasar negaranya apa ?, NU
lebih terpokus bagaimana mengisi kemerdekaan ini sesuai dengan cita-cita
proklamasi kemerdekaan Indonesia,
yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Pada sidang
tahunan MPR,2001 dimana Fraksi-fraksi ribut mempertanyakan kembali “Piagam
Jakarta” dan keberadaan Pancasila sikap NU tetap istiqomah bahwa Pancasila dan
Islam sebagai dua kesatuan yang terpisah tetapi tidak bertentangan; Pancasila
adalah idiologi sedangkan Islam adalah Agama. Dasar negara (Pancasila) dan
agama Islam adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya
tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih
salah satu dengan sekaligus membuang yang lain (K.H. Achmad siddiq, Pidato Pemullihan
Khittah Nahdlatul Ulama 1926, 10 Desember 1983). Negara Indonesia
adalah bentuk pinal perjuangan bangsa ini.
L. SIKAP
POLITIK NU
PASKA KHITTAH
Paska
Khithoh 1926, peran aktif NU dalam bidang politik berbeda dengan sebelumnya,
hal ini nampak tergambar dari Muqodimah Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama. “
Nahdlatil Ulama sebagai jam’iyyah secara
organisasi tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga,
setiap warga Nahdlatil Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak
politiknya harus dilakukan secara bertanggung jawab sehingga dengan demikian
dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokrasi, konstitusional, taat hukum dan
mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi bersama”. Nahdlatul Ulama memandang politik sebagai
pemahaman terhadap ketata negaraan, sehingga politik dipahami sebagai
partisipasi aktif membangun system ketata negaraan yang sesuai dengan cita-cita
perjuangan Bangsa Indonesia.
NU tidak lagi berpolitik praktis, warga NU tersebar di PPP, Golkar dan PDI.
Menjelang
pemilu 1987, Nahdlatul Ulama mulai jadi rebutan. Golkar dengan kepiawaiaannya
mulai melakukan pendekatan, beberapa aktivis mulai terpikat oleh pendekatan
yang dilakukan Golkar, Abdurrahman Wahid bersikap lain, Ia menunjukan rasa
simpatinya terhadap Partai Demokrasi Indonesia, dilain pihak Ia juga
bergandengan dengan Siti Hardianti Rukmana (Emba Tutut).
Menjelang
pemilu 1992 artikulasi pilihan politik warga Nahdlatul Ulama kembali menjadi
rebutan, pamor Nahdlatul Ulama semakin
menanjak. Presiden Suharto gencar mencari dukungan dari ormas Islam terbesar
ini. Gejala ini dimulai tahun 1988 ketika terjadi perpecahan yang cukup gawat
dalam tubuh rezim Suharto.
Pada
tahun-tahun itu sebagian ABRI menentang kebijakan Presiden Suharto dengan
secara terang-terangan menampakan kekecewaan terhadap peningkatan otokratisme
Presiden itu. Sumber utama ketidak puasan ABRI adalah berkurangnya kekuasaan
ABRI. Presiden telah mencabut antara lain, hak ABRI dalam menentukan pembelian
perlengkapan Angkatan Bersenjata. Selain itu, Suharto juga memilih Sudharmono
untuk diangkat sebagai Wakil Presiden, hal ini benar-benar berlawanan dengan
pimpinan teras ABRI, yang menghendaki John Naro menjadi Wakil Presiden (Keinginan ABRI
menjadikan John Noro sebagai Wakil Presiden, terkait dengan sekenario awal dalam penempatan John Naro
sebagai Pimpinan PPP). Kondisi diatas memaksa Presiden Suharto
melakukan aliansi dengan Ormas Islam.
Pada pemilu
1992 banyak suara partai Islam yang beralih ke partai Golkar sebagai partai
pemerintah, suatu kecenderungan yang sudah dimulai tahun 1987. Perolehan suara
hasil pemilu 1992, Golkar 68.1%, PPP 17% dan PDI meningkat menjadi 14,9% (Peningkatan perolehan
suara PDI karena mendapat sokongan dari ABRI yang kecewa pada Presiden Suharto.).. Dalam konpigurasi politik baru
ini, NU kembali memainkan peran penentu yang memang sering dimainkan semenjak
zaman kemerdekaan.
M.
KIPRAH POLITIK NU
ZAMAN REPORMASI.
Tanggal 21
Mei 1998 Suharto dijatuhkan, pemerintahan dilimpahkan pada Burhanudin Yusuf.
Habibi, sebagai pemegang kekuasaan transisi menuju Pemilu 1999. Sehari setelah
kelengseran Suharto, PBNU mulai kebannjiran surat usulan dari warga Nahdlatul
Ulama diseluruh pelosok tanah air, usulan yang masuk ke BPNU sangat beragam,
ada yang mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama
Parpol, ada yang mengusulkan susunan pengurus parpol, dan ada juga yang
mengusulkan lambing parpol. Tercatat 39 nama parpol yang diusulkan, nama
terbannyak yang diusulkan adalah Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Umat, dan
Kebangkitan Bangsa. Sedangkan lambing parpol yang diusulkan, unsure-unsur
terbanyak adalah gambar bumi, bintang sembilan dan warga hijau. Diantara usual
yang paling lengkap adalah Lajnah sebelas Rembanng (Tanggal 6 Juni 1998,
16 hari paska Suharto lengser, di Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin di kota
Rembang Jawa Tengah, digelar musyawarah untuk mendirikan partai sendiri dalam
komunitas NU.) dan PWNU
Jawa Barat. Tanggal 3 Juni 1998, BPNU menggelar rapat Harian Syuriyah dan Tannfidziyah, rapat menghasilkan
keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi
warga Nahdlatul Ulama. Tim Lima diketuai oleh K.H. Ma’ruf Amin (Rais
Syuriyah / Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, K.H. M. Dawam Anwar (Katib
‘Aam PBNU), Dr.KH. Said Aqil Siraj, M.A. (Wakil Katib ‘Aam PBNU), H.M. Rozy
Munir, SE. M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jendral PBNU).
Tanggal 20 Juni 1998, PBNU menggelar kembali rapat Harian Syuriyah dan Tannfidziyah, rapat menghasilkan
keputusan memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, dan membentuk Tim Asistensi yang
diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU), dengan anggota H. Muhyiddin
Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma’ruf, Lc., Drs.H. Abdul Aziz, M.A., Drs.H. Andi
Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H. Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni,
dan Drs. Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu Tim Lima dalam
menginventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru. Pada
tanggal 22 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk
mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya.
Tanggal 26
sampai tanggal 28 Juni 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering
di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rencana awal pembentukan parpol.
Pertemuan ini menghasilkan lima
rancangan: (1). Pokok-poko pikiran Nahdlatul Ulama mengenai Reformasi Politik.
(2). Mabda’ Siyasiy, (3). Hubungan Partai Politik dengan Nahdlatul Ulama, (4).
AD / ART Partai. (5). Naskah Deklarasi.
Pada
tanggal 4 sampai dengan 5 Juli digelar Silaturahmi Nasional Ulama dan tokoh NU
yang diselenggarakan di Bandung Jawa Barat, guna memperoleh masukan yang lebih
luas dari warga Nahdlatul Ulama. Dalam kesempatan ini muncul tiga alternatif
mengenai nama parpol, yakni Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Umat dan Kebangkitan
Bangsa. Tanggal 22 Juli 1998, Tim Lima dan Tim Asistensi menyerahkan hasil
akhir rapat harian syuriyah dan Tanfizdiyah, dengan hasil pinal parpol baru
diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tanggal 23
Juli 1998, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dideklarasikan di kediaman K.H.
Abdurahman Wahid (Ketua Umum PBNU), Ciganjur, Jakarta Selatan (Catatan KH.Abdurahman
Wahid sebagai ketua PBNU waktu itu tidak masuk dalam jajaran pengurus PKB).
Pembentukan
Partai Kebangkitan Bangsa yang dilahirkan oleh PBNU bukan berarti NU kembali
lagi ke politik praktis, justru pembentukan PKB untuk menghindari NU terjun
dalam politik praktis hal ini yang perlu disadari bersama, alibi ini didukung
bukti KH.Abdurahman Wahid sebagai ketua PBNU tidak masuk dalam jajaran
pengurus, bahkan bagi warga NU yang akan
berpolitik harus melepaskan jabatannya di NU, sedangkan bagi mereka yang tidak
berpolitik praktis silahkan tetap di NU. Pembentukan PKB hanya memenuhi
aspirasi warga Nahdlatul Ulama.
Tanggal 7
Juni 1999 Pemilu dilaksanakan yang melahirkan enam partai politik yang memenuhi
electoral threshol yaitu PDI-P 33,74% suara, atau 30,80% kursi, Golkar 22,44%
suara atau 24,00% kursi, PKB 12,61% suara atau 10,20% kursi, PPP 10,71% suara
atau 11,80% kursi, PAN 7,12% suara atau 7,00% kursi dan PBB 1,54% suara atau
2,60% kursi.
Realitas
hasil pemilu, menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai
pemenang pemilu 1999. Ini artinya PKB tidak cukup signifikan untuk menampilkan
calon Presiden. Dalam logika demokrasi, Megawati sebagai calon Presiden dari
PDI-P, mempunyai peluang lebih besar untuk menduduki kursi Presiden. Namun pada
kenyataannya, Megawati ditentang oleh beberapa ormas Islam. Hal yang dipersoalkan
dari diri Megawati adalah karena ia perempuan, diragukan komitmen keagamaannya
dan diragukan kemampuannya. Walaupun demikian secara konsisten PKB tetap
mendukung Megawati sebagai calon Presiden. Keputusan ini secara resmi merupakan
hasil Musyawarah Pimpinan (Muspim) PKB pada tanggal 14-15 Agustus 1999.
Keputusan ini didasarkan pada keinginan kuat PKB untuk menciptakan iklim
demokrasi yang sehat, dimana partai pemenanglah yang berhak menduduki kursi
kepresidenan. Kuatnya penolakan terhadap Megawati disatu pihak dan ingin
tegaknya reformasi dipihak lain, dimana kalau dibiarkan begitu saja kemungkinan
besar kelompok Habibi yang akan tampin, ini berarti kembali ke Orde Baru, maka
ditampilkanlah Gus Dus sebagai sosok alternatif yang dapat meredam gejolak kedua
kubu yaitu kubu Megawati dan kubu Habibi.
Ketika
Sidang Paripurna DPR/MPR 20 Oktober 1999 mengesahkan Gus Dur sebagai Presiden
ke-4 RI, gemuruh takbir dan selawat mengumandang di gedung wakil rakyat yang
sangat bergengsi itu. Tampilnya Gus Dur sebagai simbol kiai nomor wahid seiring
dengan lantunan selawat dan teriakan takbir secara spontan mengekspresikan
perasaan dan harapan sebagian besar umat Islam, bahwa pada akhirnya kaum santri
dan jajaran ulama dinyatakan sah dan memperoleh dukungan kuat untuk memimpin
republik yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.
Khususnya
keluarga besar NU, mereka pantas berbangga karena bisa menyumbangkan kadernya
yang terbaik untuk tampil sebagai penyelamat bangsa dari bayang-bayang ancaman
disintegrasi. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan terpilihlah Gus Dur
sebagai Presiden yang siap dijadikan tumbal untuk menyelamatkan reformasi.
Dengan
tampinya Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4, yang
diperjuangkan oleh segenap lapisan masyarakat, yang dipelopori oleh para
mahasiswa reformasi dapat diselamatkan.
Pada Bulan
24 Nopember Tahun 1999 NU menyelenggarakan Muktamar yang ke XXX. Pada muktamar
ke XXX terpilih pasangan KH.Hasim Muzadi dan KH.Sahal Mahfudz . Muktamar ke XXX
dalam bidang pembangunan system politik dan kesatuan Nasional merekomendasikan;
NU memandang bahwa sistem politik yang memberangus pendapat dan mengekang
kebebasan berorganisasi, merupakan pelanggaran hak-hak sipil dan hak-hak
politik. Selama dua kepemimpinan Indonesia yaitu Presiden Sukarno
dan Suharto, dengan kadar yang berbeda - telah terjadi pemberangusan pendapat
dan pengekangan politik, sehingga selama itu tak ada kekuatan oposisi yang
berarti. Pada era reformasi pemerintah harus menghilangkan tekanan-tekanan
politik dengan mewujudkan situasi bebas yang lebih luas dalam berorganisasi dan
berpolitik kepada masyarakat. Walaupun belum sepenuhnya bebas, berdirinya lebih
dari 100 partai politik merupakan indikator terjaminnya kebebasan berpolitik
rakyat. Di satu sisi hal itu bisa merupakan tanda terbukanya pintu-pintu
penyalur aspirasi politik rakyat yang selama ini tertutup, di sisi lain hal itu
bisa menjadi media petualang politik sekelompok orang untuk mencapai maksud
sempit dengan cara yang tidak etis. Atas pertimbangan tersebut maka:
1) Muktamar
menyerukan kepada pemerintah agar tetap mengembangkan kebebasan berpendapat dan
berorganisasi bagi rakyat berdasar aspirasi politik apapun. Oleh karena itu
pemerintah tidak perlu melarang keberadaan suatu organisasi politik apapun kecuali
yang berideologi komunis.
2)
Muktamar menyerukan kepada pemerintah dan kepada
masyarakat politik untuk mebangun dan memfasilitasi berkembangnya etika dan
moral politik, agar rakyat di satu sisi dapat menjamin penyaluran aspirasi
politik, disisi lain mempersempit peluang bagi praktek politik tidak etis dan
tidak bermoral. Cara yang perlu ditempuh antara lain adalah setiap partai
politik harus mempertanggungjawabkan kinerja politiknya dan pengelolaan
keuangannya kepada publik pendukungnya secara transparan.
3)
Muktamar menyerukan kepada pemerintah agar tidak mengikut
sertakan partai politik yang tidak memperoleh dukungan kurang dari 2% dalam
pemilu mendatang.
4)
Muktamar menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
ikut berpartisipasi dalam membangun dan memelihara berlangsungnya kehidupan
yang demokratis dan berkeadilan dengan cara ikut berpartisipasi dalam megontrol
kinerja parlemen dan pemerintah secara bebas dan kronstruktif.
5)
Kepada warga NU tetap dianjurkan untuk menggunakan hak
politiknya secara bebas, kritis dan rasional sesuai dengan kultur dan aspirasi
politiknya dengan tetap memegang prinsip-prinsip Khitthah NU tahun 1926 dan
Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU yang diputuskan oleh Muktamar NU XXVIII di
Yogyakarta serta mempertimbangkan hubungan historis antara NU dan partai yang
berdirinya difasilitasi oleh PBNU.
6)
Kepada seluruh pengurus NU dari tingkat ranting hingga
pengurus besar diserukan agar tetap menempatkan NU sebagai organisasi social
keagamaan bukan sebagai organisasi politik. Oleh karena itu NU harus selalu
bersifat kritis terhadap partai manapun dan mengontrol partai yang dianggap
sebagai penyalur aspirasi politik warganya. Untuk kepentingan tersebut perlu
ada " komisi politik" dalam organisasi NU.
Akibat dari sentralisasi kekuasaan dan ketidak adilan
dalam distribusi kekayaan antara daerah dan pusat, telah melahirkan
gejala-gejala disintregasi bangsa yang sejak akhir Orde Baru hingga era
Reformasi nampak semakin meruncing. Muktamar mengkhawatirkan hal itu jika tidak
segera dipecahkan akan menuju kepada perpecahan bangsa. Muktamar mendesak
kepada pemerintah pusat untuk memecahkan masalah tersebut dengan daerah secara
dialogis, demokratis dan adil. Sementara posisi setiap daerah dalam negara Indonesia
berada dalam kedudukan yang sama, atau setiap daerah adalah istimewa karena
mempunyai keistimewaannya sendirisendiri. Oleh karena itu jika wilayah Aceh
memperoleh keistimewaan dalam hal-hal tertentu, make wilayah yang lain juga
harus diberi peluang untuk menyatakan keistimewaannya dalam hal-hal tertentu
pula. Tetapi jika pada seat ini terdapat perlakuan pemerintah pusat terhadap
Aceh berbeda dari lainnya, harus dipandang sebagai cara pusat menebus
dosa-dosanya kepada Aceh pada masa-masa yang lalu. Oleh karena itu Muktamar
menghargai adanya tuntunan rakyat Aceh untuk melakukan referendum, namun
Muktamar menghendaki agar Aceh tetap menjadi bagian dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Muktamar meminta kepada pemerintah agar pelaksanaan UU
No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, memperhatikan
tuntutan dan kebutuhan daerah, seperti yang dikehendaki oleh Daerah Riau dan
Irian Jaya
Muktamar menyerukan kepada semua daerah propinsi di
Indonesia dan kepada pemerintah pusat hendaklah setiap masalah-masalah yang
menyangkut hubungan antara daerah dan pusat dipecahkan secara musyawarah dengan
menggunakan pendekatan kultural, rasional dan keadilan, bukan atas dasar
kekuasaan, dengan satu tujuan untuk menjadi negara kesatuan yang adil, dimana
hak-hak setiap warga terjamin sehingga bagsa Indonesia dihargai oleh
bangsa-bangsa dunia.
Menyadari bahwa pada akhir masa Orde Baru kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah yang rendah telah memberi pengaruh buruk kepada
upaya pemulihan ekonomi masyarakat, rasa aman warga, dan kesejahteraan masyarakat,
maka Muktamar xxx menyerukan kepada pemerintahan baru untuk segera memulihkan
kepercayaan masyarakat melalui:
1) Pelaksanaan
pemerintahaan yang bersih dan bertanggung jawab dengan segala konsekuensinya
dilaksanakan secara sungguh-sungguh mulai dari tingkat pusat hingga di tingkat
daerah, membangun dasar-dasar moralitas kekuasaan dhlam pemerintahan dan
memberi ruang bagi pelaksanaan hak kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan
pemerintahan termasuk transparansi kekayaan para pejabat dari tingkat pusat hingga
daerah.
2) Segera
menerapkan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh UU
No.22 dan 25 tahun 1999 dan untuk selanjutnya penekanan otonomi daerah pada
wilayah Daerah Tingkat I. Bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah, juga
perlu diperhatikan berlangsungnya penguatan peran kontrol DPRD kepada
penyelenggaraan pemerintah daerah dan kontrol masyarakat/rakyat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan dan kinerja para wakilnya.
3) Mendesak
kepada pemerintah tetap melaksanakan pemekaran propinsi Irian Jaya menjadi
3 propinsi, tetapi oleh karena situasi dan kondisi daerah belum memungkinkan,
maka pelaksanaan tersebut perlu ditangguhkan untuk sementara.
4)
Mempertegas pembedaan tugas, tanggung jawwab dan wewenang
masing-masing unsur negara yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif dan
menjamin kebebasan masing-masing unsur menjalankan tanggungjawabnya bebas dari
campur tangan kekuasaan.
5)
Menyerukan kepada lembaga legislatif untuk menjalankan
fungsi kontrol kepada pemerintah secara bersungguh-sungguh, menerima aspirasi
rakyat yang diwakilinya melalui cara "open door" bagi rakyat yang
ingin mengadukan aspirasinya, dan Iebih berpihak kepada kepentingan rakyat dari
pada kepentingan pemerintah.
6)
Hendaklah unsur, yudikatif dengan teguh melaksanakan dan
mengembangkan fungsinya secara mandiri dengan teguh memegah prinsip-prinsip.
keadilan.
7)
Mengembalikan fungsi TNI/Polri sebagai pelaksana dan
penjaga keamanan negara terhadap serangan pihak luar dan sesegera mungkin
menghapus Dwi Fungsi TNI/Polri dalam system pemerintahan Indonesia.
Seruan NU
kepada pemerintah akan terus dikumandangkan, NU tidak akan bosan-bosan
mempengaruhi sitem pemerintahan, sehingga diharapkan pada gilirannya tercipta
pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dapat memenuhi harapan rakyat sebagaimana
yang dicita-citakan (Lampiran
Keputusan Muktamar XXX NU Nomor: 004/MNU-30/11/1999 NU Online).