Minggu, 31 Juli 2011

SIKAP POLITIK WARGA NU


BAB V
SIKAP POLITIK WARGA NU

Proses turunnya Gus Dur dari kursi presiden telah membuka mata kita, paling tidak terhadap orang-orang yang sebelumnya memandang secara sinis, under estimate terhadap para pendukung Gus Dur dari nahdliyin bahwa mereka mungkin akan "ngamuk" karena kiainya diturunkan, ternyata hanya isapan jempol. Semua prediksi benar-benar mental, tertolak dengan kedewasaan yang diberikan para pendukung Abdurrahman Wahid yang terkenal fanatik terhadap "gurunya".

Kita memang tidak ragu mengatakan bahwa NU memiliki jamaah yang sangat besar di Indonesia. Oleh karena itu, warga yang besar ini akan sangat berpengaruh dalam menentukan hitam-putihnya bangsa ini. Apabila pengaruh yang dibawanya adalah yang jelek, maka warna yang akan berkembang adalah yang jelek. Tetapi, jika pengaruh yang berkembang adalah pengaruh yang baik, maka yang akan berkembang adalah warna yang baik. Untuk menuju pengaruh yang putih tersebut dibutuhkan perjuangan yang serius, sistematis, dan kontinyu.

A.  POLITIK PRAKTIS

Pengaruh nilai sejarah, ditambah dengan pengaruh organisasi dan pengaruh ajaran Faham ahlus sunah wal jama’ah, telah memberi corak tersendiri bagi sikap politik warga NU.

Bagi warga NU, khittah 1926 merupakan Rule Of Geme Organisation, sehingga  warga NU menentukan sikap dalam berpolitik sudah bukan masalah, partai boleh berbeda namun tujuan berpolitik harus sama yaitu memperjuangkan tujuan NU, yaitu “berlakunya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jam’ah dan menganut salah satu dari mazdhab empat, ditengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dengan demikian sikap politik warga NU bukan memilih partai, melainkan memilih orang yang sanggup dan mampu menjelmakan tujuan organisasi. Apapun Partainya, siapapun orangnya asal mempunyai kominmen untuk menjelmakan tujuan organisasi, warga NU akan mendukungnya.

Komitmen untuk melepaskan diri dari politik praktis dikalangan warga NU semangkin jelas. Seperti diketahui, sejumlah partai politik mengusung nama Hasyim Muzadi sebagai calon presiden untuk Pemilu 2004. Partai Golkar misalnya, sejumlah pengurus daerahnya yaitu Jawa Timur dan Kalimantan Selatan telah menemui Hasyim Muzadi, akhir Maret lalu untuk meminta kesediaan Ketua PBNU ini dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004. Selain Golkar, PDIP juga pernah menyodorkan nama Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden dalam Pemilu 2004 mendampingi Megawati. Nama Hasyim Muzadi ini dimunculkan dalam rapat kerja nasional PDIP di Jakarta, Maret lalu. Menanggapi hal tersebut Mustasyar PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempersilahkan KH Hasyim Muzadi menyalonkan diri sebagai presiden, namun sebelumnya Muzadi harus mengundurkan diri dari Ketua PBNU. “Jika Ingin Jadi Capres Hasyim Muzadi Sebaiknya Mundur dari PBNU”

Karena sebagai organisasi kemasyarakatan NU tidak akan ikut dukung-mendukung calon Presiden. “Silahkan saja, bagi saya nggak ada masalah. NU tidak akan ikut-ikutan karena bidangnya di politik inspirasional.” kata Gus Dur kepada wartawan usai acara peluncuran dan bedah buku "Setahun Bersama Gus Dur" di Hotel Kartika Chandra Jakarta, Senin (21/03/2003).

Hasyim Muzadi sendiri mengakui adanya tawaran itu. Namun ia menyatakan belum menyikapi serius tawaran itu karena belum merupakan keputusan akhir partai politik itu. Kendati demikian ia menyatakan akan ada pergeseran posisi di Nahdlatul Ulama berkaitan dengan pencalonan itu. " Tapi itupun masih harus diputuskan PBNU dan musyawarah alim ulama NU," kata Hasyim.

Sikap ini jelas-jelas menggambarkan pemisahan antara kebijakan NU sebagai Organisasi dan KH.Hasim Mudzadi sebagai individu. dari kutifan tulisan diatas,maka nampak sikap politik warga NU yang membedakan antara sikap organisasi dan sikap individu. Berkaitan dengan sikap tersebut, KH Muchit Muzadi mengatakan bahwa NU dilahirkan bukan sebagai parpol, tetapi memiliki kekuatan politik yang luar biasa. Pertanyaannya adalah bagaimana menyalurkan aspirasi politik tersebut secara benar ungkapnya dalam rapat pleno PBNU di Jakarta (22/08 2003). KH Muchit Muzadi menambahkan bahwa selama menjadi parpol banyak tugas keagamaannya menjadi terbengkalai. Namun demikian, ketika warga NU membuat wadah politik seringkali wadah tersebut tidak dapat digunakan sebagai saluran aspirasi warganya sehingga menimbulkan gangguan-gangguan. “Contohnya ketika NU keluar dari Masyumi, permasalahan dengan PPP, dan kondisi politik saat ini,” Sementara itu Wakil Katib PBNU Masdar F. Mas’udi dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa di semua daerah naluri politik warga NU begitu tinggi dan pembicaraan mengenai tema-tema politik merupakan pembicaraan yang menarik. “Sebenarnya kalau jadi parpol kayaknya cocok dengan naluri politik warga NU dari puncak sampai daerah, namun demikian, naluri tersebut tidak boleh dibiarkan secara bebas,”ungkapnya.
Dalam hal ini KH Hasyim Muzadi berpendapat bahwa NU tidak boleh menjadi partai. “Jika menjadi partai, seluruh gerakan-gerakan tata nilai akan ludes,” ungkapnya (Warta Politik Praktis Membuat Misi NU Terbengkalai. NU Online)

B.  POLITIK KEBANGSAAN

Keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, dalam bentuk jawaban atas pertanyaan; “Wajibkah seorang muslim mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia-Belanda -demikian Indonesia waktu itu dikenal- yang diperintah oleh orang-orang Non-Muslim (Belanda)? Dari Bughyat Al-Mustarsydin diambil argumentasi, bahwa kawasan Kerajaan Hindia Belanda yang dahulunya adalah kerajaan Islam, harus dipertahankan oleh kaum Muslimin. Di samping itu, Muktamar tersebut mengemukakan sebuah argumentasi baru -yang merupakan reinterpertasi-, bahwa keharusan mempertahankannya juga karena kaum Muslimin di kawasan tersebut bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam, dengan tidak dicampuri oleh pemerintahan yang ada (KH Abdurrahman Wahid Fatwa sebagai Tindakan Politik Surabaya, 21 Februari 2003 (Duta Masyarakat, Sabtu 22 Februari 2003)).

Pada tanggal 22 Oktober 1945, PBNU mengeluarkan Resolusi Jihad, adalah sesuatu keputusan politik yang sangat mendasar: pernyataan bahwa mempertahankan wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum Muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk mendirikan Markas Besar Oelama DJawa –Timoer (MBODT) di Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari kegiatan bermacam-macam untuk mempertahankan Republik Indonesia, Diteruskan dengan perang gerilya melawan tentara kependudukan Belanda di tahun-tahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan pesantren-pesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 - 1950.

Fakta sejarah ini merupakan bentuk kongrit kedewasaan sikap politik warga NU. Kedewasaan warga NU dalam berpolitik, telah banyak membuat orang terheran-heran. mulai dari yang merasa terkejut hingga yang merasa perlu untuk melontarkan kutukan. Hal ini terutama berhubungan dengan sikap politik dan lontaran-lontaran pemikiran yang digagas oleh sejumlah tokoh dan kalangan terpelajar NU, baik dalam hal penerimaan atas Pancasila maupun pernyataan bahwa negara RI adalah bentuk final perjuangan kaum Muslim Indonesia. Kalangan NU sangat melekat dengan ke Indonesiaan, NU  tidak pernah mengalami kesibukan serius untuk mencari jati-diri keindonesiaan. Sebab, keindonesiaan, yang hidup di berbagai area lokal, berwatak kerakyatan serta beranekaragam itu, telah merupakan bagian yang terpisahkan dari keseharian masyarakat NU. Oleh sebab itu, berbeda dengan elemen komunitas Islam "Indonesia" lainnya yang kerap kali mengalami ketegangan terus-menerus terhadap konstruk kebangsaan, kalangan NU justru tampak lebih rileks dengan ke Indonesiaan. Ketika sejumlah elemen Islam "Indonesia" non-NU masih disibukkan dengan upaya mencari definisi tentang hubungan antara Islam dan keindonesiaan kalangan NU telah jauh melangkah di depan mereka. Dalam konteks ini maka harus ditegaskan bahwa NU tidak berada pada posisi "dapat menerima" keindonesiaan, sebab keindonesiaan iheren dalam tubuh NU. Untuk apa NU harus bersusah-payah mencari sesuatu yang telah menjadi bagian dari jati-dirinya?

Kecanggihan sejumlah tokoh NU serta elemen-elemen muda terpelajar NU dalam "menangkap" ide keindonesiaan sesungguhnya lebih terletak pada  kemampuan mengartikulasikan dan mengemas secara lebih tajam tentang unsur-unsur yang memang sudah dimilikinya. Dengan demikian, konstruk keindonesiaan merupakan sebuah bentuk kesadaran otonom yang melekat dalam diri warga NU sendiri. Adalah suatu tindakan bodoh untuk menggurui -- apalagi memaksa -- NU untuk mencintai bangsa ini. Ini analog dengan memerintahkan seseorang untuk mencintai dirinya sendiri! Komunitas NU memang dapat mengalami ketegangan dengan negara – sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru -- tetapi tidak dengan bangsa. Di tengah-tengah munculnya ekspresi "patriotisme" dan "nasionalisme" yang justru membela tindakan negara atas represi terhadap saudara sebangsa di Aceh dan Papua – sebagaimana yang diperlihatkan oleh beberapa elemen "masyarakat Indonesia" belakangan ini – maka, sikap dan pandangan NU tentang keindonesian membantu memberikan gambaran yang clear cut: siapakah patriot dan  nasionalis Indonesia sejati itu?

Lebih dari itu, keanekaragaman budaya adat-istiadat lokal yang hidup dan berkembang di lebih dari 17.000 pulau Nusantara selama berabad-abad dengan sendirinya memberikan dasar yang kokoh bagi NU untuk hidup bersama dengan pluralitas dan toleransi. Dengan kata lain, pluralisme dan sikap toleransi sesungguhnya eksis dalam tubuh NU sendiri. Sama halnya dengan "hubungan" antara NU dan keindonesiaan sebagaimana yang telah disinggung di atas, NU juga tidak berada dalam posisi "dapat menerima" pluralitas dan toleransi, sebab keduanya built in dalam struktur makna/kesadaran dan tindakan kalangan NU. Hal ini pula yang dapat menjelaskan mengapa kalangan NU cenderung tidak pernah mengalami kegagapan, terperosok ke dalam sikap munafik atau dipengaruhi prasangka dalam menjalin hubungan dengan kalangan non-Muslim Indonesia. Meski antara keduanya jelas memiliki perbedaan dalam hal akidah agama, namun faktor keindonesiaan telah membuat mereka sama sekali tidak asing satu sama lain. Faktor keindonesiaan itu pula yang mengakibatkan NU sulit menganggap kalangan non-Muslim Indonesia sebagai "pihak lain." Poisisi dan sikap NU yang seperti itu cenderung ditanggapi dalam – setidaknya – dua pandangan: heran dan terkejut [Lho, kok bisa ya? ] atau dikutuk dan dicaci [Pembela kaum kafir!] Sikap pertama jelas mewakili pandangan yang gagal dalam memahami NU secara sosio-kultural, sementara sikap kedua merupakan cermin dari pandangan yang mengandung bias-bias fanatisme (Rahadi T. Wiratama. Mengapa NU tidak Pernah Mengalami Ketegangan dengan Konstruk Keindonesiaan Kolom NU Online)

C. POLITIK LUARNEGRI

Sikap politik Luar Negri NU, tidak dapa dipisahkan dengan sikap politik Bangsa Indonesia, yaitu Politik Bebas Aktif. Sebab Warga NU dengan Warga Indonesia dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, seperti yang telah diurai diatas.

NU saat ini sudah mulai mengglobal, berbagai kegiatan internasional sudah diikuti, baik oleh Pengurus Besar NU maupun oleh berbagai badan otonom yang ada dibawahnya dengan mengadakan berbagai kunjungan ke berbagai negara di seluruh dunia.

Penerimaan NU oleh komunitas internasional adalah karena faham keagamaan NU yang bersifat toleran dan ramah terhadap golongan ataupun agama lain sehingga ditengah-tengah munculnya persepsi buruk tentang Islam akibat adanya kegiatan terorisme, NU diterima dengan baik oleh komunitas internasional.

Di kantor pusat PBNU Jl. Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, hampir tiap hari mendapat kunjungan dari berbagai tamu asing untuk berdiskusi dan meminta penjelasan tentang faham keagamaan NU yang ramah sehingga dapat dijadikan sebagai model bagi tatanan dunia baru yang aman dan damai.

Delegasi Parlemen Eropa Herr Hartmut Nassauer dalam kunjungannya ke PBNU berharap agar NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia menjadi motor untuk menampilkan wajah keberagamaan yang damai, anti kekerasan dan toleran. Dalam kunjungan yang dilakukan ditengah-tengah acara AIPO (Asean Inter-Parliamentary Organization), ketua delegasi Parlemen Eropa untuk Asia Tenggara dan Republik Korea itu mengatakan sangat apresiatif terhadap pertemuan ini, sebab pertemuan ini dapat meluruskan kesan awal yang buruk bahwa Islam di Indonesia itu identik dengan kekerasan. Nilai-nilai yang sejak awal diusung NU baik itu tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), tawasuth (moderat), ta’adul (keadilan) merupakan sumber nilai yang penting untuk menyikapi radikalisme atas nama agama  yang marak akhir akhir ini. Dalam pertemuan yang berlangsung selama satu setengah jam ini, juga dibicarakan mengenai sikap NU di tengah aksi terorisme dan kekerasan kemanusiaan yang muncul akhir-akhir ini. Di antara usaha melakukan penguatan wacana agama untuk perdamaian, PBNU akan menyelenggarakan acara World Forum for Islamic Scholars yang melibatkan intelektual muslim sedunia pada bulan Februari mendatang. Keduanya juga sepakat bahwa dalam menyikapi aksi terorisme yang sudah mengglobal, masalah ini harus diselesaikan dengan menggunakan model pendekatan multilateral, jadi tidak single fighter. Maka dari itu Parlemen Eropa sangat mendukung dan akan berpartisipasi terhadap upaya NU ini. karena memang tahun 2004 ini akan menjadi tahun perdamaian. Hadir dalam pertemuan ini KH Hasyim Muzadi, Prof. Dr. Cecep Syarifudin, Abdul Wahid Maktub

Selain kunjungan-kunjungan dari berbagai kedutaan besar negara asing di Indonesia, PBNU juga mendapat undangan dari berbagai negara asing, baik di Eropa, Asia, maupun Timur Tengah. Untuk memenuhi undangan pemerintah Iran, PBNU melakukan kunjungan ke Iran Tujuan kunjungan ini adalah untuk mengenal Iran dengan lebih baik dan memperkenalkan NU sebagai sebuah gerakan kultural yang moderat dan toleran terhadap pihak lain.

Dalam kunjungan tersebut PBNU diwakili oleh KH Hasyim Muzadi, KH Masduki Mahfud, Prof Cecep Syarifuddin, Saiful Bahri Ansori, dan Wahid Maktub. NU diharapkan dapat menganal dengan lebih baik dan membantu diplomasi di tingkat dunia bahwa Iran bukanlah sarang terorisme seperti yang dituduhkan oleh Amerika.

Setelah adanya serangan teroris ke WTC, serangan Amerika ke Afganistan, dan serangan Amerika ke Irak, konstelasi dunia mengalami perubahan Saat ini Iran juga dianggap sebagai salah satu poros setan oleh Amerika dan terakhir dengan mengangkat isu-isu kepemilikan nuklir dan sebagai sarang Al Qaeda.

Pemerintah Iran menganggap NU sebagai golongan terbesar di Indonesia dan juga sekaligus golongan yang moderat. Dengan kunjungan ini diharapkan kedua belah pihak dapat melakukan diskusi dan pengenalan yang lebih mendalam sehingga model Islam moderat dapat dijadikan sebagai sebuah model alternatif.

Menurut Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidowi model Islam secara umum dapat dibagi tiga yaitu Islam model Timur Tengah, Islam Asia Tenggara, dan Islam Eropa. Selama ini negara-negara Timur Tengah dianggap sebagai negara yang konservatif dan keras. “Dengan menjadikan NU sebagai satu model alternatif, Islam dapat semakin diterima di dunia,” ungkapnya.

NU dan Syiah secara kultural sama, mereka sama sama menghormati para keturunan nabi dan keluarganya seperti Ali bin Abi Tholib yang juga dihormati oleh warga NU ini sesuai dengan syiah k ultural “Jadi sebenarnya banyak kesamaan antara NU dengan Syiah” tambah Masduki.

Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan di Inggris, Jerman, dan terakhir Mesir untuk memperkenalkan NU ke seluruh dunia sebagai sebuah Islam moderat yang toleran terhadap golongan lain. Rencananya kunjungan ini juga akan terus berlanjut ke Yordania dan Syiria.

Dalam berbagai kunjungan mereka meminta penjelasan tentang Islam yang dianut oleh NU. KH Hasyim Muzadi beserta rombongan yang selalu mewakili PBNU selalu menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rahmatallil alamiin atau agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam, bukan malah memberi ancaman.

KH Hasyim Muzadi juga menjelaskan bahwa radikalisme ada di semua agama dan radikalisme yang ada dalam Islam disebabkan oleh adanya ketidak adilan yang dihadapi oleh umat Islam serta pemahaman keagamaan yang sempit sehingga mereka berusaha menyelesaikan dengan cara-cara radikal.

Kunjungan-kunjungan ke luar negari tersebut juga bukan hanya untuk kepentingan Islam, tapi juga untuk kepentingan perdamaian dunia.  Sebagai hasil dari kunjungan KH Hasyim Muzadi ke Inggris beberapa waktu lalu,12 kyai dari berbagai pondok pesantren NU akan berangkat ke Inggris (13/09) untuk melakukan workshop dan perbandingan sistem pengelolaan pendidikan selama lima minggu atas biaya pemerintah Inggris.

KH Hasyim Muzadi mengungkapkan bahwa kunjungan ini merupakan upaya untuk saling memahami antara umat Islam di Indonesia dan umat Islam ataupun non Islam di Inggris, dan upaya kerjasama tersebut juga akan dilakukan dengan negara-negara lain seperti Jerman, Australia, dan Amerika Serikat.

Kunjungan ini sangat diperlukan karena sejak adanya isu terorisme dan pesantren dianggap sebagai salah satu tempat pendidikan yang menghasilkan orang-orang yang radikal, padahal persepsi seperti itu sama sekali berbeda dengan kenyataan yang ada.

KH Hasib Wahab yang berasal dari pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang yang turut dalam program tersebut mengatakan terdapat 4 subyek yang dipelajari dalam kunjungan tersebut yang salah satunya meliputi bagaimana mengamati perkembangan pendidikan di Inggris.
Sebagai tambahan di Inggris juga terdapat pendidikan Islam yang mirip dengan pesantren berupa boarding school di Manchester untuk anak-anak warga muslim yang tinggal disana. Rencananya rombongan tersebut juga akan berkunjung ke sekolah tersebut.

Hal lain adalah kurikulum pendidikan disana karena sebagai negara sekuler, kehidupan agama merupakan hal terpisah dengan negara. Dalam hal ini akan dipelajari peran agama terhadap kehidupan sehari-hari. Selain itu juga dipelajari bagaimana proses pembiayaan pendidikan yang ada disana karena selama ini di Indonesia, biaya pendidikan merupakan hal yang menjadi beban yang sangat berat bagi orang tua murid. Acara tersebut juga tidak akan melupakan kunjungan ke berbagai perguruan tinggi terkenal yang ada di Inggris seperti Oxford ataupun Cambridge.

Gus Hasib juga menjelaskan bahwa kunjungan tersebut akan dimanfaatkan untuk menyampaikan bahwa muslim di Indonesia mayoritas memiliki pandangan hidup yang moderat dan toleran terhadap ajaran agama lain dan selama di Inggris mereka akan tinggal di Leinchester.

Ketua Badan Kerjasama Ulama dan Pengasuh pondok Pesantren Se-Indonesia  tersebut mengatakan bahwa hal ini sangat bagus untuk pengembangan pesantren karena harus diakui bahwa sistem pendidikan di sana lebih baik daripada disini “Terdapat hal-hal baik yang dapat diambil dan dijalankan di sini dan pesantren kalau tidak mengikuti perkembangan zaman akan tenggelam,” ungkapnya.

Akan berangkat ke Inggris wakil pesantren dari Sukabumi, Kajen  Magelang, Tambak Beras, Lirboyo, Tebu Ireng, Situbondo, Bondowoso, Sidoarjo, Pasuruan, Jember, dan Malang.

Mereka semua telah diuji kemampuan bahasa Inggrisnya di British Council sehingga dapat dipastikan bahwa mereka yang berangkat memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai sehingga dapat mengikuti program tersebut dangan baik.

Bersama dengan tokoh-tokoh agama di seluruh Indonesia, beberapa waktu lalu ketika terjadi krisis Irak, PBNU secara aktif melakukan kunjungan ke berbagai negara seperti ke Australia, dan Eropa, termasuk ke Vatikan untuk memperjuangkan agar perang tersebut tidak terjadi.

Dalam kunjungan terakhirnya ke Denmark KH Hasyim Muzadi bersama Wakil Katib PBNU Drs. H. Masdar F Mas’udi MA, ia juga menjelaskan bahwa NU menyetujui serangan ke Afganistan karena hal ini didukung oleh PBB sedangkan serangan ke Irak tidak disetujui oleh PBNU karena hal ini merupakan salah satu bentuk intervensi AS ke Irak.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Drs A Hasyim Muzadi menyatakan NU bersedia menjadi jembatan untuk menggalang kembali hubungan antara dunia barat dengan Islam dalam garis moderniasi dan garis hubungan humanitas 
pasca ledakan bom di berbagai tempat. "Kami bersedia saja untuk menjadi jembatan penghubung, asal mendapat dukungan positif dari para pemimpin negara-negara Barat," katanya di Malang, Rabu sore, setelah kembali dari Kopenhagen-Denmark untuk memberikan presentasi di hadapan para pemimpin negara itu dan LSM se-Eropa serta tokoh LSM Asia.

Menurut dia, adanya keinginan dari salah seorang pimpinan LSM Eropa itu menunjukkan adanya respon positif terhadap dunia Islam, tetapi walaupun ada keinginan kuat untuk memperbaiki hubungan agar lebih baik lagi antara dunia barat dengan Islam dengan mediator NU, namun kalau tidak ada dukungan positif, maka pihaknya akan memikirkan kembali kesediaan itu.
Pada prinsipnya, kata Hasyim, pihaknya setuju, tapi harus ada dukungan positif dari negara-negara barat, sebab tanpa adanya dukungan mustahil upaya tersebut akan terwujud dan hubungan dunia Barat dengan Islam akan lebih mesra.

Tentang ulah sekelompok umat Islam yang memerangi arogansi, kekhufuran, dan kemunafikan penguasa negara dengan melakukan aksi teror bom yang juga meminta korban jiwa, ia menilai hal itu sebenarnya justru merugikan perjuangan umat Islam sendiri. "Jika penguasa termasuk negara adikuasa dengan dalih memburu para pelaku aksi teror dengan cara teror pula, bahkan sampai intervensi politik dan militer yang dibungkus segala macam istilah, pada hakekatnya justru akan membuka mata dan kemudian menyatukan sikap para pemimpin negara-negara kecil untuk melawan ketidakadilan secara bersama-sama," ujarnya.

Hasyim Muzadi menghadiri pertemuan antar pemimpin LSM se-Eropa dan Asia di Kopenhagen-Denmark selama empat hari sejak tanggal 6 hingga 10 Agustus 2003 dan baru tiba kembali di Indonesia pada 12 Agustus setelah mampir ke Singapura.

Selama di Kopenhagen, Hasyim Muzadi menjelaskan bagaimana kiprah NU dan Islam di Indonesia pada umumnya yang lebih menyukai suasana kedamaian, kesejukan, dan bahkan Islam sendiri melarang tindak kekerasan, termasuk teror-teror bom yang akhir-akhir ini marak di Indonesia.

Keinginan agar NU benar-benar mengglobal sesuai dengan lambangnya - sebuah bola dunia - tampaknya akan segera terwujud (Laporan luar negri NU Online). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar