BAB I
PENDAHULUAN
Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU), KH Hasyim Muzadi mengajak seluruh
warga Nahdliyin untuk menjaga kerukunan dan persaudaraan
(ukhuwah) dengan tidak saling berseteru satu sama lain. "Orang-orang
NU itu memang harus rukun, karena NU adalah organisasi Islam yang harus
menjaga kerukunan umat tidak peduli memakai baju politik apapun, karena politik
itu sifatnya cuma sementara," tutur Hasyim Muzadi, mendahului
Istighotsah dan Silaturahmi Ulama
NU di PKOR Way Halim Bandar Lampung (Warta “Warga NU harus rukun
(Art/Cih) NU on line).
Ungkapan diatas sangat sederhana,
namun syarat makna, sebab pada kondisi praktis banyak elite dan masyarakat NU
(Warga NU) yang kurang memahami sikap
politik NU. Kenyataan ini jelas merupakan masalah besar. Secara definitif kita
kenali bahwa masalah adalah ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan.
Harapannya warga NU berpegang teguh pada Khithah, kenyataannya Khithah belum
menjadi standar berorganisasi secara 100%. Kenyataan ini disebabkan panjangnya
perjalanan sejarah NU dimulai dari proses pendiriannya sebagai jam’iyah
diniyah, yang kemudian berubah menjadi Partai Politik, ditambah banyaknya peran
aktif tokoh-tokoh NU dalam Partai Politik dan
pemerintahan, walaupun sekarang sudah kembali lagi ke Khithoh jelas
telah banyak mengubah pandangan masyarakat tentang NU, baik masyarakat yang
diluar NU maupun Warga NU itu sendiri.
Dalam internal organisasi NU
seringkali terdapat usulan untuk merubah kembali NU sebagai organisasi politik,
ataupun timbulnya tarik menarik antar para anggota NU yang duduk dalam partai
politik tertentu untuk memanfaatkan suara warga NU untuk kepentingan partai
politiknya. Kondisi ini seringkali menimbulkan konflik antar warga NU dan
energi mereka tercurahkan pada hal-hal yang kurang produktif sedangkan urusan
pengembangan keagamaan yang jadi fokus NU menjadi terbengkalai.
NU sering dipandang sebagai simbol
kekuatan moral, karena NU menjadi kekuatan politik non partai yang sangat
signifikan, baik semasa orde baru, hingga saat
zaman kekuasaan partai seperti sekarang ini.
Pihak-pihak yang berlainan memiliki
perkiraan berbeda-beda mengenai jumlah warga NU, ada yang mengatakan 35 juta
orang, sementara Muhammadiyah memiliki warga 28 juta orang. Tetapi badan
intelijen sebuah negara jiran mempunyai data berbeda dari perkiraan di atas,
menurut mereka jumlah warga NU ada 60 juta orang sedangkan Muhammadiyah 15 juta
orang. Sementara badan Intelejen Indonesia sendiri memperkirakan
angka 90 juta orang warga NU dan 5 juta orang warga Muhamadiyah (KH.Abdurahman Wahid.
NU dan Demokrasi. Selasa 12 Agustus 2003. WWW. Gusdur Ne)1.
Mengingat potensi seperti itu maka
dalam situasi apapun, apalagi dalam peristiwa politik besar, seperti Pemilihan
Umum, Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati / Wali Kota, NU selalu ditarik ke
arah politik, baik sebagai pemain langsung atau sebagai kekuatan yang mampu
mempengaruhi massa dan sekaligus pemberi legitimasi moral. Hal ini merupakan
kekuatan NU yang riil, hanya saja kekuatan itu seringkali berakibat negatif,
karena dengan powernya itu ia selalu dicurigai, kemudian dibatasi geraknya seperti
zaman orde baru. Di sisi lain daya tarik kekuatan NU yang besar itu
seringkali dimanfaatkan secara pragmatis, untuk melegitimasi kebijakan
pemerintah tertentu, bukan sebaliknya, untuk menekan negara agar membebaskan
rakyat dari belenggu penguasa. Belum lagi ketika kekuatan politik moral itu
ditarik menjadi politik praktis, sehingga membuat banyak pengurus NU yang
terserap ke partai politik, atau posisi politik lainnya termasuk duduk di
birokrasi, sehingga NU secara organisasi mengalami kevakuman.
Hal yang lebih memprihatinkan
lagi ketika basis pengkaderan NU semacam
pesantren juga ikut terserap ke arena politik, maka resources NU semakin
terbatas.
Hal itu terjadi karena partai-partai
politik yang ada belum melakukan kaderisasi dengan baik, sehingga mereka selalu
merekrut kader NU yang sudah jadi, hal itu tidak hanya dilakukan partai-partai
yang berbasis NU, tetapi juga partai lain seperti Golkar dan PDI. Ini juga
berkaitan dengan adanya pengaruh politik yang dimiliki kalangan NU, dengan
basis konstituennya yang ada. Ini jalan pintas yang diambil partai politik
untuk meraih cita-cita politik mereka.
Padahal
bagi NU kekuatan politik moral itu akan
lebih berguna kalau dimanfaatkan sebagai modal untuk mempengaruhi kekuasaan
yang ada dalam menentukan kebijakan, untuk menjembatani munculnya konflik
interest antara partai yang ada, yang masa-masa menjelang pemilu seperti
sekarang ini justru semakin menegangkan. Memang dalam jangka pendek, pilihan
politik moral tidak membawa keuntungan yang berarti, tetapi dalam jangka
panjang sangat menguntungkan, sebab dengan demikian akan bisa turut menata
sistem politik ke depan dan sekaligus bisa mendewasakan politik rakyat,
akhirnya rakyat bisa melakukan pilihan sendiri dan bisa mengontrol partai dan
penguasa.
Bagi
warga NU memang bebas berpolitik dan menentukan pilihannya sendiri, karena
politik demokratis mengandalkan adanya stelsel individu dalam berpolitik,
tetapi secara kelembagaan, NU terikat oleh khittah, yakni harus menegakkan
politik moral (akhlaqul karimah), bukan politik kekuasaan, dengan demikian NU
bisa mengayomi keseluruhan masyarakat, baik warga NU maupun bukan, sikap
seperti ini dimaksudkan agar tidak terjebak dalam sekat ideologi politik tertentu.
Peran-peran mediasi itu sangat diperlukan, sebab selama ini NU telah dikenal
sebagai komunitas yang mampu menjembatani berbagai ketegangan bahkan konflik
sosial dan politik yang muncul. Peran itu akan hilang kalau NU berubah menjadi
kekuatan politik formal, karena akhirnya NU menjadi ormas biasa, yang merebut
hal-hal yang bersifat pragmatis dan duniawi, sementara cita-cita NU lebih luas
dari sekedar itu.
Para
pendiri NU dengan susah payah membangun pondasi bangunan NU, dengan harapan
Kaum santri (warga NU) dapat ikut serta
membangun dan mengembangkan insane dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah
Subhanahu Wata’ala, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tentram, adil dan
sejahtra. Kalau NU secara organisatoris terlibat langsung politik praktis, jelas
cita-cita tersebut akan sulit dicapai.
Hal
lain keterlibatan NU ke dalam politik praktis juga tidak mendidik rakyat dan
sekaligus menyalahi aturan, sebab pada politik yang normal, semua kekuasaan
politik seyogianya dipegang oleh orang-orang partai. Karena mereka yang sejak
awal melakukan kampanye, penggalangan massa ,
membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan, maka kalau kelompok non
partai yang diserahi, maka ini akan menyalahi prosedur yang telah dibangun,
sejak mulai dari pemilu dan seterusnya. Kecuali dalam situasi emergensi,
kelompok non politik bisa dimunculkan. Pada situasi normal, maka selayaknya
posisi politik diserahkan pada kalangan partai sendiri. Ini langkah yang
proporsional, sebab kalau tidak, tidak ada prosedur dan tidak ada aturan,
sehingga alur politik menjadi semrawut dan langkah itu akan mengganggu proses
konsolidasi demokrasi dan pelembagaan politik demokratis pada umumnya.
Untuk
menghindari hal tersebut, perlu dijelaskan sikap politik NU. Pada tataran ini
penulis mencoba menjelaskan sikap politik NU, lewat penelusuran sejarah dan
penganalisaan fakta yang kemudian dituangkan dalam buku yang berjudul “ NU THE
DESIGN MAKER POLITIC”.
Buku ini
memuat sikap politik NU secara organisatoris,yang didasarkan pada hasil kajian
Khittah NU, AD/ART NU, Faham Keagamaannya dan stitmen PBNU. Juga buku ini
memberi gambaran sikap politik warga NU paska kembali ke Hkithoh.
Mudah-mudahan
penulisan buku ini dapat memberi manfaat bagi warga NU pada khususnya dan bagi
masyarakat keseluruhan pada umumnya. Amin.
Penulis
adalah Wakil Ketua PCNU Kabupaten Karawang, Anggota Forum Pengkajian Strategi
Pembangunan Karawang dan Ketua Asosiasi Petani Karawang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar