BAB
IV
SIKAP
POLITIK NU
DITINJAU
DARI
FAHAM
AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH
Berbicara
sikap politik NU dilihat dari faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah, berarti berbicara
hubungan NU dengan negara dilihat dari faham tersebut. Faham Ahlussunah
waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis/Mu’tajilah) dengan kaum ekstem naqli
(skripturalis/Jabariah). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal (daya nalar) ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi
dalam bidang teologi Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang
tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1985, merupakan
momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut
berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Ahlussunnah
Wal Jama’ah, menurut Etimologi merupakan rangkaian kata yang terdiri dari
kata Ahlus-sunnah dan Ahlu-Jama’ah.
Ahlus-Sunnah
Wal Jama’ah secara harfiah berati Kelompok orang yang terpimpin yang
mempergunakan aturan Sunnah .
Menurut
istilah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah adalah Jama’ah Muslim yang mempergunakan
aturan Al-Qur’an, dan aturan Sunnah. (Orang yang mengamalkan Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SWA.), termasuk Ahli Sunnah Orang awam yang mengikuti Faham
mereka (Dr.
Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili, Manhaj Ahlus sunnah Wal Jama’ah Pustaka Al-Kausar
Jakarta Juli 2002)
Dalam
kedudukannya sebagai Faham, Faham Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah berarti: Faham Islam
yang Kaffah yang dibawa Nabi Muhammah SAW. yang dianut oleh segenap kaum
Muslimin, baik dibidang Aqidah, Syari’ah maupun akhlak (Tasawuf). Inilah Faham
Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah yang dijadikan Faham Nahdlatul Ulama.
A.
KAJIAN TEOLOGI
Dilihat
dari Teologi sebagaimana aliran yang
lahir pada abad pertengahan, Ahlussunnah waljama'ah merupakan aliran yang
holistik (menyeluruh), Aswaja mencakup pandangan tentang realitas (ontology),
pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi),
kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan
(eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab
dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang, pandangan itu memang
merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik
tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir,
bersikap dan bertindak, Sedangkan kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja
sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan
yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda
kegiatan sosial. Oleh kanem itu dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya
meliputi doktrin teologi (akidah). tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi
pembaruan social.
Walaupun
Aswaja mengklaim sebagai system yang menyeluruh. tetapi sulit sekali menemukan
kitab atau literatur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab yang
membahas atau memaparkan pandangan Aswaja yang menyeluruh seperti yang mereka
klaim selama ini. Aswaja yang dirutuskan KH. Hasyim Asy'ari(1) misalnya,
walaupun telah mencakup bidang akidah, fikih dan tasawuf, tetapi tidak mencakup
bidang filsafat dan politik, walaupun bidang politik ini juga dibahas di lain
kesempatan, dalam Resolusi Jihad misalnya, bisa dimasukkan dalam sistem Aswaja
yang ia bangun. Kemudian kalangan NU sebagaimana lazimnya melihat bahwa
filsafat NU adalah Ghazalian sementara politiknya Mawardian dan sebagainya.
Semuanya itu lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan secara konseptual.
Upaya
menyusun Aswaja secara sistematis sebagai sebuah aliran pemikiran dan gerakan
yang holistik telah banyak diupayakan, seperti yang digagas oleh Lakpesdam Yogyakarta dengan bukunya Teologi Pembangunan (1988)(2). Kritik serius yang
diarahkan pada Aswaja konvensional itu akhirnya juga direspon oleh para ulama
NU yang berusaha mendefinisikan kembali Aswaja secara lebih mencakup. Tetapi
usaha ini banyak mendapat sandungan karena para ulama masih belum beranjak dari
konsep lama yang melihat Aswaja hanya sebatas akidah.(3) Kemudian juga dalam
buku yang ditulis oleh PBPMII, (1997)(4)
yang hampir mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya sayangnya karena lemahnya
kerangka filosofis, maka berbagai aspek yang diuraikan antara pandangan Aswaja
di bidang keilmuan, social, politik dan ekonomi tidak saling berkaitan, secara
logis, karena lebih menekankan segi-segi aktivismenya. Dalam karya Syeikh Abdul
Hadi al Misri,(5)
sebenarnya berpretensi menampilkan Aswaja yang utuh, tetapi sekali lagi ia
gagal menjelaskan relasi Aswaja dengan perkembangan masyarakat kontemporer,
akhirnya kembali pada tradisi lama, yang hanya berputar di sekitar pembahasan
akidah. Sementara Karya Ali Asghar lebih menekankan dimensi aktivismenya, maka
ia hanya mengekspos segi-segi pembebasan dari doktrin Islam. Sebenarnya yang
cukup lengkap adalah yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi, hanya saja tersebar di
berbagai kitab sehingga perlu perhatian khusus untuk memahaminya.
Uraian di
atas menunjukkan bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan klaim bahwa aswaja
merupakan ajaran yang holistik. masih merupakan agenda dan masih perlu digarap
serius. Pandangan semacam itu diperlukan agar Aswaja peduli dengan perkembangan
masyarakat kontemporer, baik dari segi pemikiran keilmuan hingga ke masalah
pergerakan sosial politik, untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan. Karena itu Aswaja tidak lagi bisa diterima apa adanya, sebagaimana
ketika diwariskan oleh para leluhur kepada kita, melainkan diperlukan
reformulasi dan terobosan baru, sesuai dengan perkembangan aspirasi umat
manusia dewasa ini.
Gerakan
Aswaja kontemporer bukan lahir dari persoalan pemahaman terhadap doktrin,
tetapi lebih didorong oleh terjadinya pergumulan sosial yang terjadi di Dunia
Ketiga pada umumnya dalam menghadapi represi dari negara otoriter dan
eksploitasi dari kapitalisme dunia atas nama pembangunan dan kemajuan. Maka di
situlah gerakan teologi kontemporer merumuskan agenda emansipasi social, dan
berusaha menciptakan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwah insaniyah)
sementara Aswaja klasik sangat menekankan doktrin najiyah-, sehingga tanpa
disadari menjadikan Aswaja sebagai doktrin yang eksklusif, yang menuduh aliran
lain sebagai sesat, bahkan kafir, padahal aliran ini megklaim diri bersikap
kejamaahan (inklusif), maka sikap najiah
bertentangan dengan prisip jamaah. Maka gerakan baru ini
mempertegas Aswaja dengan prinsip kejamaahan serta menolak doktrin najiah yang mengeksklusi
pihak lain di luar kelompoknya secara semena-mena. Dengan berpegang pada
prinsip jamaah tidak berarti mengikuti ajaran mereka, melainkan menjadikan
mereka yang berbeda sebagai mitra dialog dalam mencari kebenaran.
Selanjutnya
juga terjadi perubahan yang mendasar dengan penegasan bahwa kalau selama ini
ham menekankan pada prinsip harmoni. maka Aswaja lebih pro kekuaan
termasuk kekuasaan represif. seperti kata sebuah doktrin bahwa barang
siapa yang menyaksikan penyirnpangan pemerintahan, hendaklah
bersabar sebab seseorang yang sejengkal saja memisahkan diri dari
Jam'iah (lingkungan) pemeritahan tersebut, maka ia tergolong orang
jahiliyah dan banyak ajaran serupa.
Sementara
gerakan Aswaja sekarang ini lebih menekankan pada prinsip keadilan, sejalan
dengan problem yang dihadapai masyarakat saat ini, karena itu Aswaja lebih
diorientasikan pada penderitaan masyarakat tertindas. Dari situ kemudian Aswaja
di break down
menjadi ideologi emansipasi, bagi rakyat tertindas dan terperas. Kemudian
sebagai kepedulian terhadap persaudaraaan manusia universal, maka menolak
doktrin najiyah yang aksklusif, kemudian mengembangkan doktrin jamaah yang
inklusif. Dengan demikian Aswaja menjadi ideologi yang toleran dan benar-benar
menghargai pluralitas yang hidup di lingkungan masyarakat dewasa ini.
Gagasan
pembaruan Aswaja yang dilakukan Dr. Said Agil Siraj ditentang oleh mayoritas
ulama dalam forum ini, sehingga upaya memperluas cakupan Aswaja tidak terjadi.
Definisi Aswaja yang dirumuskan hanya penegasan kembali terhadap definisi lama,
yaitu sekelompok umat Islam yang berpegang teguh pada pada sunnah Rasul
dan Sahabat". Kemudian ada yang menambahkan dengan kalimat "wa man tabi'ahum biihsanin ila
yaumiddin."
Elaborasi
konsep jamaah ini merupakan tindakan revolusioner karena yang dimaksud jamaah
tidak hanya sawadil a'dlham (mayoritas urnat) terutama elite ulama atau
intelektualnya yang ada seperti Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali dan sebaginya.
Jamaah yang dikembangkan dalam pengertian baru ini mencakup keseluruhan
pemikiran kontemporer yang dipandang maslahah (relevan) dengan gerakan
penegakan keadilan dan emansiapasi sosial. Maka untuk membongkar stuktur
penindasan dan pola eksploitasi yang berkembang dewasa ini, maka Aswaja menggunakan
teori sosial yang ada baik teori strukturalisme, teori kritis dan sebagainya.
Kalau teori modernisasi bermotif untuk mendominasi, maka teori kritis ini
bertujuan melakukan emansipasi, karena itu teori yang belakangan ini banyak
digunakan kalangan NU dalam menjalankan aktivitas pemikiran dan sebagai sarana
gerakan pembaruan sosial.
Perubahan
orientasi bagi suatu mazhab atau aliran itu sangat wajar, di tengah perubahan
zaman, hampir semua mazhab, aliran pemikiran mengalaminya. Hal itu ditempuh
agar pemikiran tersebut terus relevan dan semakin besar. Mungkin bagi kelompok
tekstualis hal itu dianggap bid'ah karena mengubah format ajaran dianggap sesat
dan kesalahan besar. Tetapi perubahan ini oleh kalangan pembaru termasuk
pembaru Aswaja dianggap sebagai keharusan agar Aswaja tidak kehilangan
relevansi dapat mampu mengemban tugas profetiknya, untuk mengemansipasi rakyat
dari berbagai macam kesulitan, agar hidup mereka sejahtera, dengan demikian
Aswaja menjadi ajaran yang hidup, bukan sekadar warisan sejarah.
Tafsiran
atas setiap ajaran, mazhab dan aliran, bukanlah monopoli generasi pendirinya,
melainkan milik generasi di masing-masing zaman, karena itu setiap generasi
berhak memformat gagasan yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya. Maka
bisa kita rumuskan bahawa Aswaja sekarang ini adalah apa yang sudah kita
rumuskan dan praktekkan selama ini (ma ana `alaihi wa ash-habi) artinya tidak
hanya apa yangdilakukan nabi dan sahabat, tetapi termasuk apa yang kita
upayakan bersama, hanya saja masih butuh reformulasi lebih matang dan butuh
artikulasi lebih mendalam, agar sosoknya semakin kelihatan. Prinsip ini juga
mengandaikan adanya reformulasi yang terus menerus, pada setiap generasi.
Karena
Aswaja lahir dari pergumulan sosial, maka sikap kerakyatan menjadi orientasi
gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang mereka jalankan. Situasi politik dan
sosial sejak zaman orde baru hingga masa reformasi ini banyak mengalami
perubahan, tetapi tidak mengarah pada perbaikan yang membawa keuntungan bagi
rakyat, baik bidang politik apalagi dalam bidang ekonomi yang semakin melemah.
Reformasi hanya membawa perubahan artifisial, hanya mengganti aktor, tetapi
tidak mengubah struktur politik lama, banya perbaikan secara tambal sulam,
itupun dilakukan kelmpok lama yang ingin melindungi keselamatan dirinya. Format
negara juga belum diubah, sehingga power relation (relasi kuasa) yang lama
masih terus berjalan, yang menempatkan pernerintah atau negara sebagai peneritu
segala kebijakan, sementara rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tiidak
mendapatkan akses kekuasaan. Sementara kalangan elite masih mendminasi
kekuasaan baik dalam membuat peraturan dan menentukan arah kebijakan poltik dan
ekonomi. Persentuhan dengan persoalan nil itulah sang mendorong kalangan NU
merumuskan Aswaja yang selarna ini dihayati sebagai landasan Akidah itu.
menjadi ideologi perjuangan untuk memperbaiki struktur sosial. Gerakan ini
semakin menemukan relevansinya ketika ekspansi kapitalisme global semakin
agresif, sehingga menggasak sumber-sumber kemakmuran rakyat kecil hingga ke
pelosok desa, ini yang dialami oleh pengerak Aswaja yang mendampingi rakyat di
desa-desa.
Ketika
politik tidak lagi beorientasi kerakyatan, seperti sekarang ini, maka dengan
sendirinya seluruh kebijakan, terutama kebijakan ekonomi dan politik yang
dihasilkan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Ketika harus merespon
kebijakan free market (pasar bebas) yang dipropagandakan kapitalisme global
melalui World Bank, IMF dalam bentuk WTO, Apec dan sebagainya, maka dengan
mudah politik yang elitis ini merespon gagasan liberalisme yang lagi trendy itu
agar dianggap sebagai negara modern. Padahal kebijakan tersebut secara total
membabat potensi ekonomi rakyat. Terbukti saat ini ekonomi rakyat baik di
sektor pertanian, perdagangan dan kerajinan, disapu bersih oleh produk asing
yang mulai dipasarkan secara bebas, sementara rakyat tidak mendapatkan
perlindungan dari negara dari ancaman yang mematikan itu.
Pola-pola
pendampingan rakyat yang dilakukan oleh kalangan Aswaja yang berorientasi
kerakyatan seperti yang banyak dilakukan oleh aktivis sosial NU, baik yang
bergerak dalam bidang pemikiran maupun pengembangan masyarakat, walaupun belum
mampu menandingi gencarnya ekspansi kapitalisme neo liberal yang difasilitasi
oleh rezim yang berkuasa. kalangan akademisi di kampus dan didukung beberapa
kelompok studi ini. tetapi pendampingan rakyat semacam itu sementara mampu
melindungi rakyat dari eksploitasi dan intervensi yang lebih parah dari
kapitalisme global. Dengan advokasi yang gigih itu setidaknya rakyat mampu
mernbela diri dan rnemperjuangkan hak-hak minimal mereka. Maka diperlukan
sistem politik dan ekonomi yang memberikan akses bagi kemakmuran rakyat.
Bila
prinsip dan langkah tersebut dijalankan maka Aswaja akan menjadi ajaran Islam
semakin meyakinkan, tetapi sekaligus menjadi ideologi pergerakan yang relevan,
yang tidak hanva menangani bidang kerohanian kehidupan manusia tetapi juga
peduli terhadap persoalan kultural yang dihadapi rakvat dan juga peduli
terhadap perluma penguatan basis material masvarakat Dengan demikian aswaja
bukan hanya menjadi perbincangan akademis, tetapi bisa dijadikan pegangan
kalangan aktivis pergerakan vang hidup di tengah masyarakat. Formulasi Aswaja
seperti ini yang memungkinkan Aswaja bisa berjalan seiring dengan ideologi
gerakan yang lain, tanpa harus saling mengekslusif, sebaliknya saling
menginklusi, karena orientasi dan kepeduliannya sama yaitu melakukan emansipasi
sosial.
Lahirnya Teologi Pembebasan, selain
digodok dalam perjuangan sosial, dan refleksi dari doktrin agama, juga didukung
berbagai teori ilmiah, baik teori kritis, teori ketergantungan dan teori sistem
kapitalisme dunia. Lihat Gustavo Gutierrez, A Theology af'Liberation, Orbis Book , New
York 1973.
Pada dekade 50-60-an kalangan Jesuit dengan berani membalik orientasi Katolisisme yang selama ini pro negara dan pro imperialis, kapitalis, menjadi doktrin yang concern pada perjuangan rakyat, yang sama sekali bertolak belakang dengan doktrin Katolik Roma. Lihat Malachi Martin, The Jesuits, Simon & Schuster.New York .
1987. Demkian juga ajaran Marxisme berkembang pesat justeru setelah dibongkar
secara mendasar oleh kalangan Neo Marxis dan New Left (1 Abdul Mun'im DZ Aswaja Dari Teologi Sampai Ideologi Gerakan NU Online)
Pada dekade 50-60-an kalangan Jesuit dengan berani membalik orientasi Katolisisme yang selama ini pro negara dan pro imperialis, kapitalis, menjadi doktrin yang concern pada perjuangan rakyat, yang sama sekali bertolak belakang dengan doktrin Katolik Roma. Lihat Malachi Martin, The Jesuits, Simon & Schuster.
Dengan
paparan diatas tampak jelas, sikap politik NU dilihat dari ajaran Teologi
Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah, lebih banyak menekankan pada menjadikan agama sebagai
pedoman berbangsa dan bernegara, melakukan pembelaan terhadap hak-hak
masyarakat, membebaskan masyarakat dari kebodohan, keterbelakangan dan
penghambaan terhadap manusia, menjungjung tinggi keadilan, menciptakan system
pemerintahan yang bersih dan berwiba, menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur.
Dengan
demikian konsep aswaja kedepan adalah faham yang berbicara tentang manusia dan
kemanusiaan yang menggunakan standar Agama sebagai pedoman dalam bersikap dan
berprilaku.
Aswaja
tidak jumud, melainkan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, pada
kontek seperti ini aswaja baru akan dapat menjawab tantangan zaman dan aswaja
tidak akan pernah ketinggalan zaman.
B.
KAJIAN HUKUM ISLAM (FIQH)
Mengkaji
Sikap politik NU di lihat dari Faham Ahlus sunnah Wal Jama’ah itu artinya
melihat kedudukan konsep politik berdasar Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma Ulama dan
Qiyasul Fuqoha.
Ketika
mendefinisikan politik sebagai
pengetahuan tentang seluk beluk ketata negaraan. Maka dalam kajian ini politik
harus dipandang sebagai sebuah mekanisme pengelolaan negara berdasarkan
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma Ulama dan Qiyasul Fuqoha.
Dengan demikian pengkajian politik
akan terpokus pada Negara (The State), Pemerintahan (Government), Kekuasaan dan
Kewenangan (Power and Authority), Kelembagaan masyarakat (Organization of
society) dan Kegiatan serta tingkal laku politik (Political activity &
Bihavior).
Secara
rinci baik dalam Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma Ulama dan Qiyasul Fuqoha. tidak
diatur bentuk negara, apakah Negara kesatuan, persemakmuran atau pederasi ?,
Islam juga tidak menjelaskan bentuk pemerintahannya apakah Kerajaan,
Kesultanan, Keamiran, Parlementer atau Persidensial. ?
Untuk tidak terjebak pada pembahasan
ketatanegaraan secara meluas, penulis membatasi pembahasan ini pada dua
komponen ketata negaraan yaitu Pemerintahan dan Masyarakat, terutama yang
berkaitan dengan pemilihan pemimpin serta Hak dan Kewajiban masing-masing.
Dalam system politik Indonesia ,
terutama kaitannya dengan pemilihan pemimpin kita menganut asas demokrasi, yang
berarti meletakan kedaulatan ditangan rakyat. Pernah ada pengamat yang
berpendapat bahwa agama menjadi faktor penghambat demokrasi. Pendapat tersebut
jelas tidak tepat. Apalagi jika yang dimaksudkan adalah agama Islam. Karena
sesungguhnya Islam adalah agama demokrasi.
Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. "Amruhum
syuraa bainahum", artinya perkara-perkara mereka dibicarakan di antara
mereka. Dengan demikian tradisi membahas, tradisi bersama-sama mengajukan
pemikiran secara bebas dan terbuka pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.
Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki
kehidupan. Karena dunia ini hakikatnya adalah persiapan untuk kehidupan di
akhirat. "Waakhiratu khairuu waabgaa", akhirat itu lebih baik
dan lebih langgeng. Karena itu kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap,
harus terus ada peningkatan untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik di
akhirat.
Jadi
standar yang baik itu di akhirat, kehidupan di dunia harus diarahkan kepada
yang baik itu. Hal ini sebenarnya adalah prinsip demokrasi, karena demokrasi
pada dasarnya adalah upaya bersama-sama untuk memperbaiki kehidupan. Karena
itulah Islam dikatakan sebagai agama perbaikan, diinul islah, atau agama
inovasi.
Jika
dikaitkan dengan keadilan, bahwa demokrasi hanya dapat tegak dengan keadilan.
Kalau Islam menopang demokrasi maka Islam juga harus menopang keadilan. Ini
penting sekali sebagaimana difirmankan Allah, "Wahai orang-orang yang
beriman, hendaknya kalian menegakkan keadilan”. Ini perintah yang sangat jelas.
Yakni perlunya ditegakkan keadilan dalam segala bentuk, baik keadilan hukum,
keadilan politik, keadilan budaya, keadilan ekonomi, maupun keadilan sosial.
Keadilan sosial ini sangat penting karena salah satu patokan Islam adalah
kaidah fiqih: Langkah dan kebijaksanaan para pemimpin mengenai rakyat yang
mereka pimpin haruslah terkait sepenuhnya dengan tesejahteraan rakyat yang
mereka pimpin itu.Karena orientasinya adalah kesejahteraan, maka
dipentingkan adanya keadilan. Dan orientasi kesejahteraan inilah yang
membuktikan demokratis atau tidaknya kehidupan suatu masyarakat.
Dengan demikian Islam selalu
menghendaki demokrasi yang menipakan salah satu ciri ata jati diri Islam
sebagai agama hukum. Maka Islam juga harus mengembangkan keadilan sosial di
samping keadilan-keadilan lainnya.
Dalam hal pemilihan pemimpin, baik
legis latif maupun eksekutif, baik dipusat maupun didaerah), Al-Qur’an
menjelaskan:
1 Ali-Imran ayat 28
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ
اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ
اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mu'min memilih
orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu'min.
Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu).
2. Ali-Imran ayat 118
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ(118)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memilih pemimpin orang-orang yang di luar kalanganmu (karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai
apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
3.An-Nisa ayat 139.
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ
فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا(139)
Ayat ini merupakan bentuk istifham
inkari, maksudnya orang mu’min dilarang memilih pemimpin orang kafir, sebab Non
muslim itu tidak mempunyai kemampuan, sesungguhnya Allah lah yang mempunyai
kekuatan.
4. An-Nisa ayat 114
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ
أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا(144)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memilih orang-orang kafir menjadi pemimpin mu dengan
meninggalkan orang-orang mu'min. jika kamu melakukan hal tersebut, pasti kamu
akan mendapat siksa Allah.
5. Al-Maa-idah ayat 51
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ(51)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.
6.Al-Maa-idah ayat 57
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(57)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah
ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah
kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.
7. At-Taubah ayat 23
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَتَّخِذُوا ءَابَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا
الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ (23)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu,
jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu
yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.
Secara sederhana, ayat – ayat diatas dapat
dijadikan landasan berpikir dalam menentukan sikap politik kaum Nahdiyin. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dengan seksama berkaitan dengan mantuk dan mafhum ayat
diatas:
Pertama; Allah memberikan gambaran kepada kaum muslim dalam
menentukan sikap politiknya yang berkaitan dengan kepemimpin, yaitu dengan
melarang kaum mu’minin memilih orang kafir (Non muslim), kecuali dalam keadaan
terpaksa karena jumlah komunitas orang mu’min kecil sehingga dapat menimbulkan
kemadaratan pada kaum mu’minin (QS. Ali Imran ayat 28 .
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً).
Laragan Allah tersebut didasarkan
atas; mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka
menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka,
dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Selain dari
itu pelarangan memilih pemimpin Non musli dikarenakan mereka telah
memperolo-olokkan agama Islam. Sehingga atas dasar itu apabila orang mu’min
melanggar had (ketentuan Allah) dengan
memilih orang Non muslim menjadi pemimpin, maka Allah akan menurun sikasa,
karena orang yang demikian termasuk orang yang Dzalim.
Kedua; Mafhum Mukholafah dari pelarangan
diatas, Allah memerintahkan (Mewajibkan) memilih pemimpin yang baik, yaitu
pemimpin orang yang beragama Islam. Namun demikian tidak cukup asal Islam, akan
tetapi harus orang islam yang menjalankan syari’at Islam.
Dalam penafsiran ayat 23 surat
At-Taubah bahwa yang dimaksud إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ adalah
bukan orang kafir saja melainkan orang mu’min yang tidak menjalankan syari’at
Islam, seperti orang yang tidak mengerjakan shalat, tidak menunaikan zakat dan
lainnya, atau orang yang senang melaksanakan dosa besar seperti meminum minuman
keras, suka berjina, suka berjudi, walaupun status dia orang muslim akan tetapi
haram diangkat jadi pemimpin.
Ketiga, Dari pemahaman mantuk ayat dan mafhum
ayat, tidak ada kewajiban bagi seorang muslim (Warga
Nahdiyin) untuk memilih partai politik, melainkan yang wajib itu memilih orang
muslim yang baik, sehingga demikian yang harus dijadikan sikap politik warga
Nahdiyian adalah memilih orang bukan memilih partai. Terlepas parnya apa asal
partai tersebut mencalonkan orang muslim yang taat, warga Nu wajib
mendukungnya.
Keempat, Jika semua partai mencalonkan orang
muslim, maka langkah pertama memilih muslim yang baik, jika semua muslim yang
dicalonkan itu baik langkah kedua memilih muslim dari kelompok NU
) At-Taubah ayat 23(
Kelima, dalam kedudukannya sebagai warga
masyarakat, warga Nahdiyin Wajib taat pada pemimpin yang baik.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الاَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang
beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (Pemerintahan/Pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisaa:59)
Keenam, Dalam kedudukan sebagai pemimpin,
pemimpin dari kalangan Nahdiyin wajib hormat kepada masyarakat dan menjadi
pengayom masyarakat.
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ
بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ
يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
Hadis
Abu Hurairah r.a: Nabi s.a.w bersabda: Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu
merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang
zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam. Sekiranya dia
menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil maka dia akan mendapat
pahala, akan tetapi sekiranya dia menyuruh selain dari yang demikian itu, pasti
dia akan menerima akibatnya
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الاَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (QS.Ali-Imran:159)
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ (88)
Berendah dirilah kamu terhadap orang-orang
yang beriman. (al-Hijr:88)
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (215)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.(Asy-Syu’araa’
:215)
Ketujuh; Tanggung jawab pemimpin kaum Nahdiyin
bukan saja di dunia sebagai akuntabilitas publik, melainkan ada tanggung jawab
yang lebih berat yaitu di akherat. Pemimpin dari kalangan Nahdiyin harus
mempertanggung jawaban kepemimpinannya dunia dan akherat.
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
أَلاَّكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ
عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ
عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ *
Hadis Ibnu Umar r.a: Diriwayatkan daripada Nabi s.a.w katanya: Baginda telah bersabda: Kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang pemerintah adalah pemimpin manusia dan dia akan bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi ahli keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. Manakala seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia juga akan bertanggungjawab terhadap jagaannya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar